Kesuksesan kopi Starbucks jelaslah bukan  rahasia lagi. Terlepas dari kontroversinya belakangan soal dukungan mereka terhadap kaum LGBT, saya rasa pendekatan yang mereka lakukan layaklah ditiru banyak perusahaan lain.
"if you give employees reason to believe in their work and that they are part of a larger mission, they will personally improve the experience for every customer"
Ketika banyak perusahaan lain semata menerapkan "pembeli adalah raja", mereka justru berinvestasi terlebih dulu melalui pegawai mereka. Kira-kira begitu intepretasi yang dapat ditarik dari pernyataan Howard Schultz sebagai pembesar Starbuck
Sayangnya, walaupun sudah terbukti keberhasilan trik tersebut, masih (sangat) banyak perusahaan yang kerap mengabaikan peran penting pekerja lantas hanya fokus terhadap produk (barang ataupun jasa) dan customer. Sangat disayangkan.
Berangkat dari situ, perenungan minggu siang ini mengantar saya pada empat intisari pola kebijakan perusahaan yang semestinya dihindari. Sebuah pendekatan dari sisi saya sebagai pekerja dan bukan seorang pengambil keputusan.
- Mempersulit tenaga potensial dan meringankan pihak yang underperformed
Pastilah orang yang kompeten akan semakin dipercayakan berbagai tanggung jawab. Sebuah hal lumrah ketika sang pengambil keputusan akan memilih orang yang terbukti performanya daripada yang tidak. Sampai disana, maka tidak ada masalah. Sayangnya, yang saya amati kerap kali perusahaan menerapkan bentuk take for granted terhadap orang-orang dengan kapasitas tinggi. Mereka dibebani berbagai tugas khusus, tanpa memberikan apresiasi yang signifikan. Sedangkan mereka yang underperformed juga tidak dirugikan apapun karena tidak ada konsekuensi apapun, namun dapat bersantai dengan lebih lama. Kondisi seperti ini merugikan dalam dua hal. Pertama, tidak menyemangati mereka yang kompeten. Kedua, mengijinkan orang-orang underperformed tetap pada zona nyaman.
Saya tiba-tiba teringat sebuah kalimat "bertoleransi pada keterlambatan artinya memberi hukuman bagi mereka yang telah tepat waktu dan memberi hadiah bagi mereka yang tidak disiplin." Dalam konteks senada, perusahaan sepatutnya menghindari pola demikian. Jangan sampai, para pegawai briliant justru meredup karena pola take for granted ini. Alih-alih memindahkan tugas dari mereka yang under-perfomed pada yang kompeten, jauh lebih baik untuk menyiapkan mekanisme yang lebih sehat atau setidaknya apresiasi relevan.
- Mengijinkan kelompok tertentu mengubah aturan main.
Sudah fakta lawas bahwa kecenderungan berkelompok ada pada setiap orang. Namun dalam beberapa kasus, adanya kelompok-kelompok itu memegang pengaruh dalam pengambilan keputusan. Beberapa pegawai berani bersuara, sebagian besar yang lain memilih diam. SOP (standard operasional) yang seharusnya menjadi acuan tak elak dikesampingkan. Profesionalitas menjadi sekedar sebutan. Misalnya, bagaimana memuluskan kenaikan pangkat seseorang (bagaimanapun bagusnya kinerja yang bersangkutan) hingga memodifikasi seenak hati ketentuan instansi.
Bagi saya (yang adalah seorang pegawai), kondisi semacam itu jelas berpengaruh pada semangat kerja. Pun, pada rasa respectterhadap para pengambil keputusan. Entah kenapa saya yakin, begitu banyak pegawai lain di luar sana, yang kerap merasa kecewa dengan keputusan yang bernada subjektif untuk menguntungkan kelompok tertentu. Apalagi ketika mengendus adanya 'skenario terselubung', sudah pasti kinerja akan terpengaruhi.
- Memberi ruang untuk ketidakadilan
"seorang yang lebih kuat menyalahgunakan kuasa untuk mengambil dari mereka yang lebih lemah"
Definisi dari pendiri International Justice Mission (IJM), Gary Haugen, akan menjadi tumpuan kita mendefinisikan ketidakadilan. Saya cukup bersyukur, poin nomor tiga ini tidak terjadi  di tempat saya mengabdi. Namun, saya melihat begitu banyak tempat kerja lain yang dengan begitu halusnya terus "mengambil (sesuatu) dari mereka yang lebih lemah". Ketentuan semacam itu pernah saya dapati dari sebuah industri di Surabaya.Â