Akibat Self-Diagnosis Sembarangan dan Penangguhan Mental Karena Perbedaan Zaman
Strawberry Generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudeh menyerah dan gampang sakit hati. Definisi ini dapat kita lihat melalui laman-laman sosial media. Begitu banyak gagasan-gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus juga tidak banyak cuitan resah penggambaran suasana hati yang dirasakan oleh mereka. Pemilihan buah strawberry untuk penyebutan generasi baru ini karena buah strawberry itu tampak indah dan eksotis, tetapi begitu dipijak atau ditekan, ia akan mudah sekali hancur.
Terdapat salah satu cuitan twitter mahasiswa semester 2 yang sempat viral “ Gua anak umur 21, ga nyangka ternyata kuliah itu seburuk itu untuk mental health, semester 1 kemarin gua udah dihujanin materi sama tugas yang bener-bener banyak, akibatnya waktu gua untuk healing sama self reward jadi kurang banget. Yang tadinya gua masih bisa nonton Netflix sama chat-chattan dengan bestie sekarang jadi susah banget. Gua kayaknya belum siap kuliah deh. Gua udah ngomong ke ortu kalau gua mau cuti dulu semester ini. Gua mau fokus healing selama 6 bulan dulu. Tapi ortu gua malah ga setuju, bahkan gua dibilang manja. Gua bingung mau gimana takutnya kalau paksain IPK ku malah tambah anjlok. Gua juga susah komunikasikan ini ke ortu karena mereka ga aware sama mental health kaya gua. Gua mesti gimana…?? (diakhiri dengan emot menangis)”.
Kini banyak sekali anak muda yang melebih-lebihkan perasaan sedih atau galaunya hingga menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan di sekitarnya. Suka menerka-nerka keadaannya sendiri dengan mencocok-cocokkan hal-hal sedih di sosial media dengan dirinya. Hal itu jika dilakukan terus menerus dapat mengakibatkan overthingking dan kemudian depresi.
Depresi yang diakibatkan oleh diri sendiri yang secara sembarangan mendiagnosis penyakit mentalnya, akan memberikan negative vibes bagi lingkungan sekitarnya. Seseorang yang mengalami hal ini akan mudah merasa tersakiti, merasa tidak berguna, bahkan naasnya ada yang sampai bunuh diri. Apakah dengan bunuh diri akan menyebabkan dirinya tenang? Padahal kita tahu bunuh diri adalah tindakan yang melampaui takdir dan dibenci oleh Tuhan. Lalu kita berharap dengan bunuh diri akan menyelesaikan masalah? Yang ada, bunuh diri malah akan menambah bebanmu di akhirat
Coba kita lihat kilas balik masa dulu nenek kakek kita. Bukankah pendidikan zaman dulu dan tantangan kehidupannya sangat keras? Dilempar sepatu, penghapus papan tulis yang dimana dulu masih terbuat dari bahan kayu yang diberi kain, dipukul dengan penggaris papan tulis yang besar, ditampar guru, dibodoh-bodohkan guru, dan lain sebagainya. Sakit? Tentu saja.
Sekarang begini,
Apakah kakek nenek kita kemudian bersikap kurangajar dan menentang balik guru? Tidak, mereka hanya memendamnya, meski mental mereka sudah pasti kena.
Apakah kakek nenek kita melebih-lebihkan perasaan sakit mereka? Tentu tidak. Bahkan mereka tetap semangat menimba ilmu dengan berbagai keadaan yang mereka rasakan.
Memang zaman dulu dan zaman sekarang itu berbeda, tapi kenapa kita tidak ambil pelajaran dari zaman dulu dan melengkapinya dengan zaman sekarang? Kita teladani ketangguhan dan kedisiplinan orang zaman dulu dalam menghadapi berbagai kondisi. Di zaman sekarang, kita manfaatkan perkembangan pola pikir yang kreatif. Jika kamu pandai memanfaatkan dan mengambil hikmah dari pendidikan zaman dulu dan sekarang, sudah pastilah kamu akan menjadi pribadi yang kreatif dan tangguh, tidak menjadi pribadi yang dikit-dikit suka ngga terima karena dilarang ini itu dan tidak menjadi pribadi yang suka mengeluh dan melebih-lebihkan perasaan.