Mohon tunggu...
Mbak El
Mbak El Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga, blogger, produsen nugget sayur homemade -

Ibu rumah tangga yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Halal Sebuah Tanggung Jawab Moral

7 November 2017   23:00 Diperbarui: 7 November 2017   23:22 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Saya seorang ibu rumah tangga yang fulltimemengurus keluarga. Aktifitas saya setiap hari dimulai pukul 5 pagi. Sholat Subuh, menyeduh kopi untuk suami, mencuci piring sambil menanak nasi. Kemudian memasak lauk pauk untuk sarapan keluarga sambil membangunkan anak-anak yang masih tidur.

Saya bertanggung jawab penuh terhadap urusan perut suami dan anak-anak saya. Apa yang mereka makan tidak luput dari perhatian saya, kecuali dalam keadaan tertentu. Misalnya saat suami makan diluar bersama teman-teman kantornya.

Tanggung jawab yang berat tentu saja, karena saya harus memastikan makanan yang saya hidangkan halal dan thayyib.Sebenarnya kriteria makanan yang halal dan thayyibitu seperti apa sih? Apakah harus yang enak, mahal, bermerk, disukai banyak orang? Kita bahas satu persatu yuk!

Halal berasal dari bahasa Arab (  ) yang artinya membebaskan, memecahkan, membubarkan, dan membolehkan. Sedangkan menurut ensiklopedia hukum Islam, yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya, atau sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara'.Jadi makanan yang halal adalah makanan yang dibolehkan Islam untuk dikonsumsi.

Sedangkan makanan yang thayyib adalah makanan yang baik, yang membawa manfaat dan kesehatan bagi tubuh, serta tidak ada larangan dalam Al-Quran maupun Hadits untuk dikonsumsi. Diantara kriteria makanan yang thayyibadalah;

  • Bergizi tinggi dan memenuhi kriteria gizi seimbang. Mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.
    • Tidak membahayakan tubuh bila dikonsumsi. Misalnya daging kambing bisa menjadi makanan yang tidak thayyibbila dikonsumsi penderita hipertensi. Sebaliknya menjadi thayyibbila dikonsumsi penderita darah rendah.
    • Tidak mengandung zat-zat kimia berbahaya, seperti formalin, pewarna tekstil, pestisida, dan bahan tambahan lain yang membahayakan tubuh bila dikonsumsi.
    • Layak konsumsi. Makanan yang sudah basi, busuk, berjamur atau kadaluarsa adalah makanan yang tidak layak konsumsi karena bisa membahayakan tubuh.
    • Tidak berlebihan. Sebaik-baik makanan adalah yang dimakan secukupnya. Sesuai dengan tuntunan adab makan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW agar makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang.

Dalam QS. Al-Maidah: 88 Allah SWT berfirman,

" dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya."


Dalam ayat lain disebutkan,

" Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah 168-169)


Dalam QS. Al-A'raf: 157 Allah Azza wa Jalla berfirman,

" dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk"


Bila kita cermati ayat-ayat di atas, Allah hanya menyebutkan bahwa kriteria makanan yang halal adalah makanan yang baik. Semua makanan yang suci dan tidak berbahaya pada dasarnya boleh dimakan. Sebaliknya, segala sesuatu yang najis seperti darah dan bangkai, maupun yang mutanajjis(terkena najis), mengandung zat berbahaya, hukumnya haram dimakan.

Menurut kaidah ushul fiqh, hukum asal segala sesuatu (muamalah/ duniawi) adalah mubah(boleh) sampai ada dalil yang mengharamkannya. Misalnya ada makanan atau minuman yang belum jelas kehalalannya, maka kita kembalikan pada hukum asalnya yaitu boleh dimakan sampai kita menemukan dalil/ alasan yang mengharamkannya. Hal ini berdasar pada firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 29,


" Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu."


QS. Al-Jatsiyah: 13,

" dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir."


QS. Luqman: 20,

" Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan."


Ketiga ayat diatas menjelaskan bahwa Allah menciptakan bumi dan segala isinya untuk kepentingan manusia. Inilah dalil tentang kehalalan segala sesuatu. Allah hanya mengharamkan sedikit saja dari bumi dan isinya, yang itupun untuk kebaikan manusia sendiri. 

Diantara makanan dan minuman yang diharamkan Allah karena ada dalilnya dalam Al-Quran dan Hadits adalah: bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, binatang yang mati karena tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk binatang lain, diterkam binatang buas, binatang yang disembelih untuk berhala.

Masalahnya adalah di jaman yang serba modern ini segala sesuatu tampak indah, baik dan lezat. Banyak tempat-tempat makan menawarkan makanan dan minuman yang unik dan terlihat enak. Banyak produk makanan dan minuman yang kita tidak tahu komposisinya. Hal inilah yang mendasari pentingnya dibuat aturan tentang standar halal.

 Saya sendiri lebih merasa nyaman ketika mengetahui produk yang saya konsumsi ada label halalnya. Meskipun saya tidak selalu menuntut harus ada label halal di semua makanan yang saya beli. Ketika membeli nasi pecel di warung tetangga misalnya, saya tidak perlu mengecek adakah label halal di depan warungnya? Atau ketika makan di rumah makan Padang, saya merasa tidak perlu menanyakan apakah warungnya menjual daging babi dan khamr?

Inilah yang dinamakan husnudzon.Saya harus berbaik sangka pada tetangga saya, pun kepada pemilik rumah makan Padang. Ada konsensus tak tertulis bahwa setiap rumah makan Padang pasti punya orang muslim. Tapi apakah saya harus selalu berhusnudzonpada semua rumah makan? Bagaimana jika saya sedang berada di suatu tempat dimana muslim menjadi minoritas? Disinilah perlunya sertifikat halal bagi setiap tempat makan.

Selain untuk memberi kenyamanan dan keyakinan kepada konsumen, adanya sertifikat halal juga sebagai bentuk komitmen pemilik produk kuliner untuk senantiasa menjaga mutu produknya. Tidak hanya dari segi rasa dan penampilan yang menarik, tapi juga jaminan kehalalannya. Dengan adanya sertifikat halal diharapkan semua pihak baik produsen maupun konsumen sama-sama memiliki tanggung jawab moral dalam ketersediaan produk yang halal dan baik untuk dikonsumsi. Dan tentunya akan lebih memudahkan tugas saya dalam menyediakan makanan yang halal bagi keluarga saya.

 

Ellen Febry,

Ibu Rumah Tangga, pernah nyantri di Kulliyah Dakwah Islamiyah Libya


il

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun