Ellen Diva Ibanez
Mahasiswi Universitas Airlangga
Logika dan Pemikiran Kritis PDB 49
Korupsi dan suap, dua kata yang sering kali terdengar di telinga kita namun demikian masih sering dianggap sebagai fenomena yang jauh, atau bahkan tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari. Di balik tirai ketidakpedulian, korupsi dan suap merajalela di tengah-tengah masyarakat, menodai keadilan, menghambat pembangunan, dan merusak moralitas bangsa. Dua fenomena ini merupakan kanker moral yang dapat melemahkan struktur pemerintahan dan menguras kepercayaan publik.
Korupsi mengakibatkan pengalihan dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan kepada kepentingan pribadi para pejabat korup. Suap merupakan salah satu praktik korupsi yang kian menjamur di kalangan masyarakat dimana saya menggambarkan fenomena suap dengan kalimat 'membayar orang untuk melanggar hukum'.Â
Dalam buku Sosiolog Hukum: Sesuatu Pengantar karya Dr. Baso Madiong disebutkan, suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Saking dianggap wajarnya, sebagai contoh, Â banyak masyarakat yang berpikir untuk lulus dalam pendaftaran tes PNS, TNI, atau Polri akan sangat susah jika tanpa suap. Bayangkan saja jika mayoritas orang yang lulus dalam tes tersebut dipilih bukan karena banyak prestasinya tetapi justru banyak-banyakan uang? Tentunya ini menjadi salah satu kekhawatiran yang patut kita cegah.
Sekilas, mungkin akan sulit bagi sebagian orang untuk melihat dampak langsung dari korupsi dan suap di kehidupan sehari-hari. Dampaknya yang merusak tanpa disadari memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan yang tidak hanya dirasakan secara individu tetapi juga oleh seluruh masyarakat. Di balik pelayanan publik yang terhambat, kualitas hidup masyarakat yang menurun, dan ketimpangan sosial yang semakin memburuk, ada jejak korupsi dan penyuapan yang menyusup secara tak kasat mata.
Semakin terbuka lebarnya ruang bagi praktik korupsi dan suap, dan  semakin sedikit orang-orang yang benar-benar menentangnya, membuat semakin dalam masalah korupsi dan suap merasuki struktur sosial. Adanya ketidaktransparan dalam kebijakan yang diberlakukan dan ramahnya hukuman bagi koruptor, membuat tersingkirnya moralitas dan integritas oleh kepentingan pribadi.Â
Apalah arti mengejar kekayaan dan kekuasaan dengan cara tidak etis yang membawa dampak negatif pada lingkungan sekitar? Hanya orang-orang egois dan rakus yang mengerti.
Selain ringannya hukuman yang tidak membuat efek jera bagi koruptor, kerakusan menjadi salah satu pemicu utama tindakan korupsi. Beberapa orang terkadang menginginkan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi haknya, itu wajar. Namun ketika keinginan itu tumbuh semakin besar dan besar hingga membutakan akal budi, korupsi dan suap menjadi pilihan yang diambil karena dianggap sebagai 'jalan tercepat' untuk memenuhi keinginannya. Pertanyaannya, apakah itu sepadan dengan risikonya?
Tidak.