Di sebuah kompleks perumahan yang tenang, Athena selalu menjadi pusat perhatian. Dengan rambut terurai dan langkah ringan, ia seperti sinar matahari yang tak pernah padam. Semua orang mengenalnya sebagai gadis ceria yang selalu menyapa tetangga, tersenyum pada kucing liar, dan bahkan mengobrol dengan pohon mangga di depan rumahnya.
Jarvish, tetangganya yang tinggal dua rumah di sebelah kanan, adalah kebalikannya. Cowok itu baru masuk semester tiga di jurusan teknik dan dikenal dengan kepribadiannya yang tenang dan pendiam. Jika Athena adalah suara, maka Jarvish adalah keheningan. Meski begitu, mereka seperti potongan puzzle yang saling melengkapi.
Athena sering main ke rumah Jarvish, duduk di ruang tamu sambil bercerita panjang lebar tentang hari-harinya. Jarvish, seperti biasa, hanya mendengarkan sambil menyeruput teh hangat.
"Jar, kamu tahu nggak tadi di sekolah aku dapet nilai seratus di sosiologi!" seru Athena sambil mengacungkan tangan dengan penuh semangat.
Jarvish hanya melirik dari buku yang sedang dibacanya. "Keren. Tapi bukannya itu udah biasa buat kamu?"
Athena tertawa kecil, menyadari Jarvish tidak pernah benar-benar memberi reaksi besar. Tapi di situlah letak kenyamanannya. Ia tahu, Jarvish selalu mendengarkan.
"Aku rasa kalau bukan kamu yang ngedengerin cerita-ceritaku, aku bakal meledak, deh," ujar Athena, duduk bersila di karpet.
"Jangan lebay." Jarvish meletakkan bukunya, menatap Athena dengan sedikit senyum di sudut bibir.
Momen seperti ini sering terjadi. Athena mengoceh tanpa henti, dan Jarvish mendengarkan dengan sabar. Meski begitu, ada kalanya Jarvish mendapati dirinya gemas dengan kelakuan Athena yang seperti anak kecil.
"Jar! Lihat ini!" Athena tiba-tiba berdiri, memegang boneka kecil yang baru saja ia beli dari pasar malam. "Lucu banget, kan? Aku kasih nama si Kuro. Dia bakal nemenin aku belajar!"