Tak terasa sudah lebih dari tiga bulan semenjak kasus Covid-19 pertama kali diumumkan di Indonesia pada awal Maret 2020 lalu membuat sebagian masyarakat terkena dampaknya. Dampak Covid-19 tentu sangat dirasakan oleh berbagai sektor terutama sektor pariwisata, perdagangan, dan investasi. Sektor pariwisata diprakirakan menurun akibat terhambatnya proses mobilitas antar negara, selain itu prospek pertumbuhan ekspor barang juga terhambat. Sedangkan dampak Covid-19 terhadap sektor investasi menyebabkan gejolak pada pasar valas dan pasar keuangan seperti pasar saham dan pasar obligasi.
Walaupun sulit untuk mengukur dampak Covid-19 secara akurat, namun studi OECD3 mengindikasikan dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan Covid-19 bisa mencapai 0,5% hingga 15% dari PDB dunia. Sementara itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mempunyai tujuan tunggal untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah akan memberikan tekanan pada pertumbuhan ekonomi pada jangka pendek. Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 menjadi 4,2-4,6%, untuk kembali meningkat di kisaran 5,2-5,6% pada 2021.
Tidak dipungkiri, pandemi yang melanda seluruh dunia membuat tatanan ekonomi sedikit terganggu bahkan sebagian orang merasa panik dan khawatir untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Bagi saya, merasa takut atau khawatir dalam kondisi dan situasi saat ini merupakan hal yang sangat wajar, asalkan tetap bisa berpikir rasional dalam melalukan segala sesuatu.
Dampak yang lebih mengerikan dari adanya pandemi Covid-19 ini adalah terjadinya inflasi yang akan berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Inflasi merupakan meningkatnya harga barang secara umum dan terus menerus sehingga mempengaruhi harga barang lainnya. Berkaca dari Krisis Asia pada tahun 1998 yang disebabkan oleh kucuran kredit berlebihan dan penumpukan hutang terlalu banyak membuat ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Krisis ekonomi kembali dirasakan kembali pada tahun 2008 yang dipicu banyaknya debitur gagal bayar KPR atau subprime mortgage.
Risiko pandemi global Covid-19 pada awal 2020 menjadi ancaman bagi stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan global serta domestik. Saya yakin tidak ada satu orang pun yang ingin merasakan kondisi krisis ekonomi terulang kembali. Untuk itu, diperlukan kesadaran bersama untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Dimulai dari diri sendiri dengan hal terkecil sekalipun.
Tips Sederhana Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian Demi Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
- Alokasikan dana sesuai dengan kebutuhan. Poin ini menurut saya sangat penting karena hidup di tengah ketidakpastian mengharuskan kita memiliki dana simpanan untuk hal-hal yang tidak terduga. Mulailah membagi persentase dari gaji atau pendapatan, seperti yang saya lakukan dengan membagi persentase 40% untuk kebutuhan pokok, 20% untuk membantu orang tua, 15% alokasi dana kesehatan, 15% dana tabungan, 5% dana darurat, dan 5% untuk berbagi ke sesama. Prioritaskan untuk membeli kebutuhan pokok dan kurangi membeli atau berbelanja barang yang sifatnya kurang penting.
- Investasi atau mulai berbisnis dan manfaatkan media online. Pandemi ini menuntut kita melakukan segala sesuatu dari rumah, hal demikian dapat dijadikan peluang untuk memulai bisnis online kecil-kecilan dengan memanfaatkan media online ataupun marketplace demi menambah penghasilan. Atau bagi yang memiliki modal cukup besar bisa memulai dengan investasi.
- Hindari panic buying. Masih ingatkah saat awal pandemi masuk ke Indonesia menyebabkan kelangkaan masker dan hand sanitizer? Penyebab kelangkaan ini dipicu oleh beberapa oknum serta kepanikan masyarakat sehingga berbondong-bondong membeli masker dan hand sanitizer dalam jumlah banyak. Padalah saat itu tenaga medis kekurangan masker dan hand sanitizer. Mari berlatih peduli dengan membeli barang sesuai kebutuhan, tidak perlu berlebihan atau bahkan sampai menyuplai barang untuk jangka panjang.
- Gunakan pembayaran dengan uang digital. Jika kita terpaksa harus keluar rumah untuk membeli kebutuhan pokok, ada baiknya kita menghindari pembayaran tunai dengan uang fisik supaya meminimalkan risiko penyebaran Covid-19.
- Hindari panic selling terhadap produk-produk investasi. Beberapa pekan lalu, tidak sengaja saya membaca timeline media sosial yang ramai membahas mengenai panic selling dengan melakukan penjualan produk-produk investasi. Hal demikian jika dilakukan secara bersamaan dan dengan jumlah banyak maka tidak menutup kemungkinan akan mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Peran Bank Indonesia (BI) dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai peran Bank Indonesia (BI) dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, mari kita ulas sedikit mengenai Bank Indonesia karena beberapa orang masih beranggapan bahwa Bank Indonesia berperan sama seperti bank pada umumnya (BRI, Mandiri, BTN, BNI). Padahal kenyataannya Bank Indonesia merupakan bank sentral yang berperan menjaga kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa serta kestabilan terhadap nilai tukar rupiah, sedangkan bank umum berperan mencari keuntungan melalui interaksi secara langsung dengan para nasabah seperti melakukan penawaran kredit dan dana simpanan serta deposito dalam jangka panjang.
Dikutip dari laman Bank Indonesia bahwa salah satu peran BI yakni menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), yakni kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan.
Sistem keuangan tersebut terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga yang saling berkaitan dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan pertumbuhan perekonomian. Maka, tidak dipungkiri berhasil tidaknya suatu negara dalam menjaga stabilitas sistem keuangan sangat tergantung dari kerja sama antara perilaku masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Memperkuat Stabilitas Sistem Ekonomi melalui Kebijakan Makroprudensial BI
Rasanya krisis ekonomi pada 2008 masih membekas di ingatan, padahal saat itu stabilitas moneter dan mikroprudensial dalam kondisi yang cukup baik, namun nyatanya krisis ekonomi tetap terjadi. Mengingat kondisi tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan makroprudensial dengan pendekatan yang bersifat top down sehingga mencakup seluruh elemen sistem keuangan, misalnya dengan peningkatan mortgage loan secara massal di perbankan.