Begitu bulan Ramadan tiba, ada dua kata yang akrab di telinga kita, yang pertama adalah kata Marhaban yaitu kata serapan yang berasal dari bahasa Arab yang dipadankan dengan kata Selamat datang dalam bahasa Indonesia. Kata yang kedua adalah Ngabuburit yang berasal dari bahasa Sunda, yang pemakaiannya sudah meng-Indonesia.
Ngabuburit berasal dari akar kata burit yang di dalam Kamus Umum Basa Sunda LBSS didefiniskan sebagai: Waktu dina rek beakna beurang, wanci sariak layung atawa wanci magrib.Atau kata yang mempresentasikan waktu yang menunjukkan berakhirnya waktu siang. Kata Ngabuburit adalah kata dasar burit yang artinya sore yang sudah melalui proses rajekan dwipurwa/ reduplikasi suku kata pertama dengan penambahan imbuhan ( rarangken hareup) nga yang artinya ngalantung ngadagoan burit atau berjalan-jalan sekitar rumah dan halaman pada waktu sore untuk menunggu datangnya malam (waktu magrib).Jadi, pada awalnya kata ngabuburit dipakai tidak hanya pada bulan Ramadan.
Konon istilah ngabuburit ini diperkirakan sudah ada sejak abad XV silam. Pada waktu itu, Kerajaan Mataram menata kota-kota dengan membuat sebuah pusat kegiatan masyarakat berupa sebuah alun-alun, masjid, dan pasar, serta fasilitas pendukung lainnya sehingga menarik warga untuk mendatanginya. Karena pusat keramaian berada di alun-alun, maka tempat tersebut oleh masyarakat dijadikan tempat favorit untuk ngabuburit.
Di dalam tradisi masyarakat Sunda tempo dulu, terutama yang dilakukan oleh anak-anak dan remajanya, acara ngabuburit biasanya dihabiskan di tanah-tanah lapang, seperti halaman masjid.
Seperti yang kualami sendiri, setelah salat asar dan mengaji( mukena dan al-Qur'an disimpan di madrasah) , aku ngabuburit di halaman mesjid bersama teman-teman, yang tadi sama-sama ikut mengaji. Sambil nunggu waktu magrib tiba, kami bermain beragam permainan tradisional, seperti galah, gatrik, encrak, beklen, congklak, halma, dan sebagainya. Begitu beduk magrib berbunyi, kami pun berlarian menuju tempat wudu. .Lalu berebutan membawa sarung dan kopiah( anak laki-laki) atau mukena ( anak perempuan), serta al-Qur'an ke mesjid untuk menunaikan salat magrib berjamaah. Setelah salat, kegiatan berlanjut dengan mengaji lagi sampai masuk waktu salat isya. Setelah itu kami baru pulang ke rumah masing-masing.Sesampai di rumah aku makan malam, mengerjakan PR, baru deh boleh tidur.
Kadang-kadang juga, aku ikut emak ke kebun di belakang rumah untuk sekadar melihat saluran air ke kolam atau sawah apakah lancar atau tidak, melihat-lihat tanaman palawija yang ditanam di galengan apakah ada yang rusak atau ada yang sudah cukup untuk dipanen , atau mengambili buah-buah pinang yang jatuh ke kolam untuk dikumpulkan. Pinang itu setelah dikeringkan dan terkumpul banyak akan dijual.Aku sering kebagian komisi penjualannya.Lumayan juga ada tambahan untuk isi tabungan.Pokoknya, setiap pulang nagbuburit sama emak tidak akan pulang dengan tangan kosong.
Acara ngabuburitku di waktu kecil, ya seperti itu. Karena waktu itu tempat yang menyenangkan untuk tempat bermain aku dan teman-teman adalah berkisar antara halaman masjid, kebun, kolam dan sawah. Kegiatannya pun berburu buah-buahan di kebun belakang rumah, bikin rujak ramai-ramai di bawah pohon jambu bol, bermain rakit gedebok pisang di kolam, atau  ngala tutut dan eceng disawah.
Jika hari itu ngabuburit kami isi dengan ngala tutut dan eceng, biasanya  setelah itu kami berbagi tugas untuk kegiatan berikutnya, yang tak kalah mengasyikkan. Ada yang ngumpulin ranting-ranting kayu dan membuat hawu( tungku). Ada yang meminta beras dan garam ke emaknya, dan adajuga yang meminjam kastrol untuk bikin nasi liwet. Pokoknya semua bergotong royong untuk menyukseskan acara ngaliwet. Setelah liwet matang, ada yang bertugas mengambil daun pisang untuk alas makan. Nasi liwet dan semua lauknya ditamplokkeun ke atas daun pisang, lalu nasi beserta lauk-pauknya itu dibagi rata sesuai dengan banyaknya anggota kelompok. Kami pun siap makan bersama( botram) mengelilingi daun pisang tersebut.Kami tidak peduli apakah itu namanya makan siang yang kesorean atau makan malam yang terlalu cepat.Yang penting hati senang, perut pun kenyang.
Tentu saja, selama bulan Ramadan acara ngarujak dan ngaliwet setelah mengaji ditiadakan karena sedang puasa. Tapi, kalau kegiatan mengumpulkan aneka macam buah-buahan sih nggak berhenti. Kami berlomba mencari buah-buahan untuk berbuka puasa. Siapa yang bisa mengumpulkan jenis buah-buahan yang paling banyak, dia 'kelas'nya akan naik di kelompok bermain kami. Makanya, kami ngasruk ke tiap kebun untuk mencari jenis buah yang berbeda dengan yang sudah didapat oleh teman yang lain.
Karena waktu aku kecil belum ada kantong keresek, kami membawa buah-buahan hasil jarahan kami itu dengan menggembolnya memakai...baju kami sendiri. Jadi, nggak heran kalau baju kami waktu itu penuh dengan bekas getah buah-buahan. Pada saat berbuka puasa, kami wajib sudah ada di rumah sebelum bedug magrib. Sesudah mandi kami duduk di atas tikar yang digelar di tengah rumah. Kami menunggu beduk ditabuh sambil duduk menghadapi piring seng milik masing-masing serta tambahan menu ta'jil hasil kami berburu di kebun.
Selama bulan Ramadan kegiatan ngarujak dan ngaliwetkami tiadakan.Tapi kami tidak kekurangan kegiatan yang menyenangkan. Kami ganti kegiatan itu dengan membuat permainan  lodong, yaitu bermain perang-perangan dengan media bambu mirip sebuah meriam yang diisi dengan karbit, lalu disulut api hingga menghasilkan suara dentuman, atau membuat benang gelasan. Anak laki-laki membentang benangnya, sedangkan anak perempuan membantu menumbuk pecahan beling sampai halus. Saat istirahat dari kegiatan yang menguras tenaga, kami membaca buku komik yang disewa dari taman bacaan keliling yang kami juluki Si Goler karena kami membaca bukunya sambil ngagoler atau gogoleran (idur-tiduran) di teras masjid.