Berita korupsi di negeri ini kian hari kian sering terungkap. Satu terungkap, susul-menyusul kasus lain ikut terseret. Seperti gunung es mencair. Kita disuguhkan berbagai kasus korupsi, mulai dari korupsi kepala daerah, korupsi dana haji, hingga suap menyuap proyek pemerintah.Â
Berdasarkan data yang ada saat ini, Indonesia masih berada dalam kondisi yang mencemaskan. Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2016, memaparkan jika Indonesia berada pada peringkat ke-90 dari 176 negara.Â
Ditambah lagi dengan data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) yang dirilis pada Februari 2017 berhasil menemukan 482 kasus korupsi di negeri ini selama tahun 2016. Dari jumlah itu terdapat 1.101 orang tersangka dan total nilai kerugian negara yang harus diterima sebesar Rp 1,45 triliun. Maraknya kasus korupsi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama.Â
Saat ini, kerja dari sejumlah lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan menjadi harapan kita semua dalam mencegah serta mengurangi kasus korupsi di Indonesia. Akan tetapi, meski ketiga lembaga penegak hukum tersebut bekerja dengan baik, tetap saja korupsi bertambah dan merajalela.
Pada dasarnya, korupsi bukanlah budaya.Tetapi korupsi mampu menjadi sesuatu yang mengancam bila struktur sosial, struktur ekonomi, atau juga struktur politik ikut diserang. Di Indonesia, dampak jelas korupsi dapat terlihat dari masalah kemiskinan dan terhambatnya pembangunan.Â
Yang lebih ironis lagi adalah sebagian besar praktik korupsi terjadi dalam struktur pendidikan dan dipraktekkan langsung oleh mereka yang terdidik,lebih mengerikan lagi, ketika kita melihat di media massa ,bahwa mereka yang tertangkap dan terbukti sama sekali tidak memiliki rasa malu dan terkesan menganggap korupsi adalah sebuah hal yang wajar.Hal ini tentunya sangat miris,bila kita sandingkan dengan moralitas sebagai seorang manusia dan insan yang beragama.
Lebih lanjut bahwa perilaku korupsi merupakan bentuk pengingkaran jati diri sosial seseorang terhadap masyarakat. Para koruptor melihat orang lain sebagai musuh yang harus ditaklukkan dan dikuasai. Salah satu cara menguasai orang lain adalah peningkatan kelas sosial dan penguatan ekonomi, apapun caranya karena kodrat manusia adalah makhluk libidal dan masyarakat hanyalah arena kompetisi abadi. Hal ini selaras dengan kecenderungan manusia hobbesian yang egois.
Namun, mengapa korupsi terjadi seolah-olah secara sistemik? Setiap orang memiliki kecenderungan dari dalam dirinya untuk memperkaya diri. Hal ini terwujud jika kondisi dan situasi memungkinkan. Supaya situasi dan kondisi ini tidak mungkin terjadinya perwujudan kecenderungan nafsu manusia seperti korupsi maka sistem harus berfungsi optimal.Â
Sistem itu merupakan mekanisme dari perwujudan kontrak sosial. Maka,apabila sistem dan hukum benar-benar berada ditengah-tengah untuk menegakan keadilan maka kecenderungan nafsu manusia terkendali.
Dari semua hal diatas,sebenarnya ranah keluargalah  yang seharusnya menjadi kunci penting mengajarkan nilai-nilai anti korupsi, seperti berani jujur dan menanamkan sudut pandang mengenai materi. Saya melihat ada banyak keganjilan pada perilaku orangtua terhadap anaknya di keluarga. Salah satu dari berbagai keganjilan perilaku tersebut, saya kira akan bermuara pada semakin berkembangnya benih korupsi.Â
Sebagai contoh, ada seorang tamu datang ke rumah. Sang ayah meminta anaknya untuk mengatakan ayah sedang tidak ada kepada tamu tadi. Sang ayah enggan untuk menemui tamunya. Otak anak merekam dan terpatri dalam benaknya bahwa tindakan yang baru saja ia lakukan boleh saja dilakukan.