Mohon tunggu...
Najmuddin
Najmuddin Mohon Tunggu... pelajar -

Belajar, membaca, nonton, main, olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudut Pandang Bahasa Terhadap Toleransi

17 Desember 2015   14:07 Diperbarui: 17 Desember 2015   14:47 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sementara ini umat Islam terjebak dalam isu toleransi yang diusung oleh akademisi barat. Sejak murid-murid dari Eropa bermunculan isu toleransi agama selalu menjadi perbincangan hangat meski merupakan opini yang sudah

Dengan munculnya konsep toleransi yang diusung mereka umat Islam selalu serba salah setiap melakukan tindakan yang berbau SARA. Terlebih saat ini, ketika sudah mendekati Natal yang merupakan perayaan orang Kristen, ketika mereka tidak mengucapkan selamat Natal mereka dikecam. Kalau mereka tidak menggunakan atribut Natal ditempat kerja mereka disingkirkan.

Nah, di sini penulis ingin merujuk kembali arti toleransi yang sebenarnya. Tidak usah jauh-jauh menilai dari sudut pandang agama, cukup kita lirik dari sisi bahasa

Dalam KBBI edisi ketiga terbitan Balai Pustaka kata “toleransi” merupakan kata sifat dari kata dasar “toleran”. “Toleran” itu sendiri memiliki arti “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, memeperbolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.” Lebih lanjut dijelaskan arti dari kata “menoleransi” adalah membiarkan atau mendiamkan.[1]

Melihat arti toleransi tersebut, pemahaman toleransi yang saat ini berkembang dengan mengharuskan seorang muslim mengucapkan selamat Natal sepertinya sudah terlalu jauh dari makna toleransi itu sendiri. Toleransi itu bukan berarti seorang muslim harus ikut andil dalam perayaan Natal bagi umat Kristen. Demikian juga umat Kristen tidak harus ikut serta dalam kegiatan ibadah umat Islam.

Toleransi hakikatnya adalah sikap saling menghargai pada keyakinan masing-masing, tidak menghambat, tidak menentang, tetapi membiarkan dan mendiamkan keyakinan itu. Mengartikan toleransi dengan mengharuskan seorang Muslim memakai atribut Natal atau mengucapkan “Selamat Natal” padahal dalam keyakinan mereka hal tidak diperbolehkan  tentu tidak tepat. Hal itu justru merupakan tindakan intimidasi terhadap mereka. Jika semua orang benar-benar memahami arti toleransi yang sebenarnya bisa dipastikan kehidupan rukun antar umat beragama yang selama ini menjadi opini bisa dicapai.

 

[1] KBBI Edisi Ketiga hlm 1204

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun