Membaca Koran Sindo Online, Edisi 03-12-2015 yang bertajuk “Pengelolaan Lembaga Beasiswa Akan Dipindah ke Kemenristek”, hati saya merasa tergelitik. Apa lagi menyimak kemontar Menristek-Dikti M. Nasir dan anggota Anggota Dewan Komisi Pendidikan, Pak Jefri Riwu Kore yang tersirat “menuduh” LPDP tidak profesional dalam mengelola dana pendidikan ini sehingga sering terlambat pencairannya, sampai menyinggung ada mahasiswa yang terancam di Drop Out (DO) dari kampus karena beasiswa terlambat. (Pengelolaan Lembaga Beasiswa Akan Dipindah ke Kemenristek)
Di sini saya merasa ada komentar yang memutarbalikan fakta. Dimana letak ketidakprofesionalan LPDP? Sebelum berkomentar ria di media massa, sepertinya Pak Nazir dan para wakil rakyat ini butuh hati dan telinga yang merakyat agar tidak asbu (asal bunyi) dan berkomentar yang tidak berdasar kuat.
Pengalaman saya sebagai penerima manfaat, hanya lembaga beasiswa LPDP satu-satunya lembaga pengelola dana beasiswa dari pemerintah di negeri ini yang paling bahkan super-profesional seantero nusantara. Salah satunya, LPDP benar-benar berbasis pada teknologi informasi yang mutakhir. Tenaga-tenaga dan apartur yang tidak low-respon.
Mereka juga mempunyai Tim Monitoring dan Evaluasi (Tim Monev) yang bekerja berbasis teknologi informasi (online), Penerima beasiswa LPDP yang tersebar di seluruh dunia terhubung dalam satu ruang online yang kami sebut dengan “milis LPDP” tempat berdiskusi mulai dari keluh-kesah hingga apresiasi atau sekedar saling menyapa satu dengan yang lain.
Selain milis, Awardee LPDP juga mempunyai grup-grup di media sosial dan dunia nyata dan komunitas berbasis online lainnya di seluruh dunia. Yang bersifat regional misalnya, ada awardee LPDP Jogja, awardee LPDP Jakarta, awardee LPDP Bandung, awardee LPDP Suranaya, awardee LPDP NTT, awardee LPDP NTB dan masih banyak lagi. Komunitas ini tidak hanya komunitas asal jadi, tetapi mempunyai struktur dan aksi nyata untuk menolong dan membantu teman-teman lain yang mungkin membutuhkan bantuan terutama tentang beasiswa LPDP dan juga beasiswa lainnya.
Awardee LPDP NTT misalnya, kami mempunyai visi dan misi dan sedang kami lakukan untuk menjangkau anak-anak di seluruh pelosok NTT dengan informasi beasiswa ke kampus-kampus, bantuan buku untuk sekolah-sekolah yang mungkin luput dari perhatian Pak Nazir dan Pak Anies Baswedan. Dimana gurunya hanya gaji 75 perbulan modal uang komite sekolah, sementara oknum anggota DPR yang duduk, tidur, nonton film porno, minta saham, jadi calo di Senayan gajinya 50an juta per bulan.
Mereka bicara pun paling bicara kepentingan partai, bicara soal main golf dan jet pribadi dan dengan kongsi-kongsi politik yang saling menyandra satu dengan yang lain.
Penyaluran Beasiswa LPDP Terlambat, Kata Siapa?
LPDP mempunyai FORM PELAPORAN PERKEMBANGAN STUDI setiap tiga bulan sekali yang harus diisi secara online oleh semua penerima beasiswa dimana pun berada. Itu adalah kewajiban penerima beasiswa LPDP. Kalau tidak mengisi berarti haknya (beasiswanya) tidak bisa dicairkan. Nah, saya mulai menduga, ”kalaupun” ada yang mengeluhkan beasiswanya terlambat, bahkan ada yang terancam DO dari kampus, sepertinya Pak Nazir dan konco-konconya di DPR komisi Pendidikan itu, jangan sampai hanya mendengar dari orang-orang yang tidak melaksanakan kewajibannya itu untuk melaporkan perkembangan studi setiap tiga bulan.
Sehingga beasiswa mereka terlambat. Kalau itu yang terjadi, siapa yang salah? LPDP atau penerima beasiswanya? Jangan salah paham, anda mendapat hak, kalau anda melakukan kewajiban anda. Seperti M. Nazir juga dalam memperlakukan para dosen, mengajar dulu baru dapat gaji. Karena itu, di sini kita harus tahu bahwa dimana letak persoalannya, jangan hanya jadi menteri dan DPR yang hanya menggunakan telinga kiri tetapi telinga kanan jarang dipakai.
Soal Kuota yang Terbatas