Polemik Bapak Menteri Pendidikan Anies Rasyid Baswedan  vs Ustadz Yusuf Mansyur mengenai aturan berdoa untuk membuka dan menutup proses belajar mengajar serta pelajaran agama di sekolah-sekolah baru saja berakhir. Pak Ustadz semula mengecam dengan keras mengapa doa kok dilarang, namun kemudian sepaham setelah penjelasan dari Pak Menteri bahwa bukan dilarang melainkan untuk mewujudkan penghargaan terhadap siswa yang menganut agama minoritas dengan mengambil contoh bahwa siswa muslim di sekolah katolik jangan sampai juga dipaksa berdoa maupun belajar agama dengan cara katolik.
Saya merasa tergelitik dengan cara menyatukan pendapat kedua tokoh ini. Kedua tokoh di atas sepakat setelah menemukan contoh yang bisa diterima oleh kedua pihak dengan mengorbankan pihak lain sebagai 'common enemy'.
Sekolah- sekolah untuk pendidikan dasar dan menengah di Indonesia sejatinya bisa dibedakan antara sekolah negeri yang didirikan oleh pemerintah serta sekolah swasta yang didirikan oleh Yayasan-Yayasan. Yayasan Kristen,  Yayasan Katolik, Yayasan Islam maupun Yayasan dari agama lain sejak awal mendirikan sekolah salah satu misinya adalah memberikan pendidikan agama sesuai keyakinan mereka masing-masing. Namun karena jumlah sekolah di Indonesia sangat terbatas, mayoritas penduduk di Indonesia menganut agama Islam dan dalam perjalanan banyak sekolah swasta dari Yayasan non Islam menjadi sekolah favorit maka kenyataan yang terjadi adalah:
- murid beragama Islam punya pilihan untuk bersekolah di sekolah negeri, sekolah swasta non Islam, maupun sekolah yang didirikan oleh Yayasan Islam. Jumlah murid beragama Islam yang bersekolah di sekolah swasta dari Yayasan non Islam: SANGAT BANYAK
- Sebaliknya murid dari agama minoritas hanya punya pilihan untuk bersekolah di sekolah negeri atau bersekolah di sekolah yang didirikan oleh Yayasan non Islam. Silakan cek berapa banyak murid non Islam yang bersekolah di sekolah dari Yayasan Islam. Sangat sedikit kalau tidak mau dibilang TIDAK ADA.
Dengan demikian membuat keputusan untuk menyeragamkan cara berdoa dan melarang sekolah dari Yayasan agama tertentu untuk mengajarkan doa dan pelajaran agama mereka sangat mencederai keadilan khususnya bagi sekolah swasta yang didirikan oleh Yayasan non Islam. Karena dalam kasus ini yang lebih dibela adalah yang mayoritas ketimbang yang minoritas.
Saya mendukung sepenuhnya bila aturan mengenai berdoa dan pelajaran agama ini ditetapkan oleh Pemerintah untuk diberlakukan hanya di sekolah negeri yang merupakan sekolah milik Pemerintah. Apalagi sudah beberapa tahun belakangan ini beberapa sekolah negeri mengharuskan siswa putri mengenakan jilbab sebagai seragam sekolah untuk semua siswa putri beragama Islam. Kebijakan semacam ini semakin membuat siswa non Islam putri semakin tampak sebagai minoritas bahkan di sekolah negeri.
Salah satu contoh yang nampak jelas ada dan sempat penulis amati terjadi di Kota Pelajar Yogyakarta yaitu di SMA Negeri 1. Kebijakan sekolah di SMA Negeri 1 Yogyakarta berbeda dengan SMA Negeri 3 Yogyakarta yang walaupun sama-sama sebagai sekolah negeri favorit tidak mewajibkan siswa putri beragama Islam untuk mengenakan jilbab sebagai pakaian seragam di sekolah. Sementara di SMA Negeri 1 Yogyakarta bukan hanya kewajiban mengenai seragam ini saja yang mencolok, melainkan juga aula tempat beristirahat siswa putra dan putri yang di pisahkan bahkan tangga untuk naik ke kelas di lantai atas juga dibedakan antara tangga untuk siswa putra dan siswa putri. Dengan kebijakan semacam itu sedikit sekali siswa putri non Islam yang mau dan berani bersekolah di SMA Negeri 1 Yogyakarta.
Sekali lagi saya sangat berharap Pak Menteri Pendidikan untuk memberikan keputusan yang adil bagi permasalahan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H