Sudah lebih dari empat puluh tahun saya menghirup udara Indonesia tercinta, tetapi kenyataan hidup sebagai minoritas di Indonesia tidaklah bertambah baik dari waktu ke waktu meskipun sudah berkali-kali Indonesia mengalami pergantian pemimpin / presiden.
SARA adalah isu yang paling dibenci namun juga mendominasi dalam kehidupan berbangsa di negeri ini. Hanya saja bagian yang lebih menonjol dari isu SARA ini selalu berubah dari waktu ke waktu.
Pada masa kecil saya bagian dari isu SARA mengenai Ras adalah yang paling populer. Hampir setiap kali berjalan menyusuri kampung di sekitar kota Yogyakarta dimana saya tinggal semasa kecil tidak pernah luput dari kata-kata yang diucapkan dengan nada mengejek yang langsung menunjuk dari Ras apa saya berasal. Dua kata yang selalu diteriakkan oleh anak-anak hampir di semua kampung pada masa itu adalah "Cino !" - untuk menunjuk semua orang yang bermata sipit tidak peduli dari manapun ia berasal, apakah dari Vietnam/Jepang/Korea/China dengan gaya nada yang mengejek, serta kata "Londo !" - untuk menunjuk semua orang bule juga tidak peduli dari manapun ia berasal, namun dengan gaya nada yang menghormat. Entahlah mungkin pada saat itu di sekitar tahun 1970-an rasa jengkel dan tidak suka kepada Ras china dan rasa hormat atau mungkin juga takut kepada ras Eropa/Amerika terasa sangat menonjol.
Isu mengenai perbedaan agama pada masa-masa itu tidak terlalu dibesarkan. Di sekolah-sekolah semua guru agama mengajarkan untuk saling bertoleransi dalam kehidupan beragama. Itulah sebabnya di masa SMP saya sering membantu dan diterima oleh teman-teman dari agama lain dalam melakukan dekorasi mempersiapkan perayaan keagaaman mereka. Begitu kuatnya indoktrinasi kerukunan antar umat beragama bahkan sampai kini hasilnya masih terasa dalam bentuk teman-teman masa kecil saya dari berbagai latar belakang agama masih saling mengucapkan selamat hari raya pada hari raya keagamaan masing-masing.
Namun, tampaknya reformasi yang dilakukan tahun 1998 mengubah banyak hal. Demikian juga Negeri China yang melakukan perubahan politik luar negerinya dengan membuat lebih terbuka, dengan segala kemajuan yang dicapainya menjelang awal abad 21 mengubah juga perhatian isu SARA di Indonesia.
Kemajuan pesat perekonomian negeri China mampu memutar balikkan kenyataan penduduk Indonesia yang sebelumnya selalu meremehkan orang keturunan China menjadi sekarang menghormati Ras ini.  Saat ini isu SARA yang kelihatan sangat mengemuka bergeser tidak lagi pada persoalan Ras melainkan pada persoalan Agama. Reformasi yang menjamin kebebasan berpendapat di negeri ini tampaknya mengambil peran yang banyak mengapa hal itu bisa terjadi.
Yang paling terasa adalah sejak tahun 2000-an guru-guru agama Islam di sekolah-sekolah negeri memberikan indoktrinasi yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Kini mereka membatasi bahkan melarang murid-murid yang beragama Islam untuk hanya sekedar mengucapkan selamat hari raya pada pada saat pemeluk agama lain merayakan hari raya mereka.
Sebentar lagi Indonesia akan memilih presiden baru. Saya cuma bisa berharap bahwa akan ada perubahan yang besar (revolusi) dalam hal menangani isu SARA yang akan terjadi di Indonesia.
Sungguh mengerikan membayangkan masa depan Indonesia hasil indoktrinasi saat ini yang akan kita rasakan dalam 10-20 tahun mendatang. Isu SARA mengenai masalah agama akan semakin membuat tidak ada toleransi antar umat.
Semoga Presiden Indonesia dan seluruh kabinet terpilih nantinya juga mengamati hal ini dan segera mengambil sikap untuk membenarkan hal-hal yang sudah semakin melenceng ini. Karena 'Kemerdekaan adalah hak segala bangsa yang kita akui dalam pembukaan UUD 1945 juga berlaku untuk masalah SARA ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H