Bukan orang Aceh namanya jika ia tak pernah duduk atau nongkrong di warung kopi alias warkop. Ia kata itu pantas kita alamatkan untuk kaum kita masyarkat Aceh, yang saban waktu menyempatkan dirinya untuk hanya sekedar menghirup segelas kopikah atau hanya melepas kangennya bersama kawan sejawatnya yang sedang di warung kopi tersebut.
Hal ini sudah menjadi pemandangan yang tak asing lagi di Aceh umumnya dan Banda Aceh khususnya. Apalagi semakin menjamurnya warung kopi dengan segala fasilitas yang ditawarkan oleh pemilik warkop tersebut. Dari cita rasa kopinya yang nikmat sampai kepada Free Wifi (fasilitas jaringan internet) untuk para pelanggan warkopnya. Ini sungguh pemandangan yang tak akan pernah terlewati jika anda berkunjung ke pusat kota tersebut.
Adanya warkop warkop ber-WiFi ini secara berkala tapi pasti mengubah pola hidup masyarakat kita Aceh khususnya. Yang hanya sibuk serta lalai berjam jam didepan layar onlinenya untuk sebuah hal yang tak dibutuhkan. Bahkan secara jujur penulis pernah melihat serata mengamati sejumlah anak muda yang hanya sibuk memainkan jarinya untuk bermain game online dengan segala jenisnya. Yang kita maklumi hal ini tak perlu dan kurang berguna bagi kita penerus bangsa. Bahkan ada yang start kewarung kopi ber-WiFi jam 23.00 malam lalu pulang jam 04.00 pagi.
Rupanya hal ini tidak berubah ketika bulan yang mulia tiba, yaitu bulan ramadhan ini. Seharusnya bulan ini kita isi dengan banyak beribadah kepada Allah swt, sungguh ironis jika kita hanya membuang buang waktu di depan secangkir kopi. Walau hal ini tidak terjadi di siang hari karena umumnya warga Aceh beragama Islam ditambah lagi larangan Pemerintah untuk tidak berjualan makanan serta minuman sebelum pukul 16.00 sore. Tapi para “pecandu” warung kopi menziarahi tempat favoritnya itu justru selepas berbuka puasa, entah ada sholat atau tidak. Isya serta tarawihpun entah dimana?.
Bukan bermaksud membuka baju bangsa sendiri, seharusnya kita sadar dengan segala title yang ada dibahu baju bangsa kita, yang katanya kita negeri bersyariat, negeri yang tak goyah imannya, negerinya para ulama, atau apalah. Tanpa itupun semua seharusnya kita paham akan moment ini, ini bulan ramadhan, bulan penuh berkah bukan bulan yang harus diisi dengan bualan belaka.
Kepada kita semua agar kita mampu mengontrol diri kita sendiri, keluarga kita dan ummat kita, agar kita tak lalai lagi dengan canda tawa yang tak bermakna. Ini jeritan hati kita bersama, jeritan hati penulis yang tak kuasa berbuat dengan kekuasaan karena bukan penguasa, dan hanya mampu untuk merilis jeritan hati. Mohon maaf bila ada kata kata yang tak berkenan, tapi ini sungguh jeritan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H