Saya lama tidak menulis lagi disini,meskipun yang saya tulispun baru 3 artikel. Saat ini saya ingin menulis lagi,Ketika saya buka akun kompasiana saya, saya baca Bulan Nopember terakhir saya menulis,tentang pilihan hidup sendiri tanpa adanya pasangan hidup.Saya tulis itu berdasarkan pengalaman teman yang memilih hidup sendiri.Bulan Nopember saya menulis itu, dan siapa yang menyangka di bulan Mei tahun berikutnya,yaitu tahun 2014, saya dipilih Tuhan untuk memulai hidup sendiri, mau tidak mau, suka tidak suka, sedih tidak sedih,saya harus menjalani hidup sendiri tanpa suami, karena tanggal 7 Mei 2014,mendadak Suami saya dipanggil Tuhan sang pencipta hidup. Dan kemudian terjadilah kesendirian saya.
Semua terjadi mendadak,suami saya meninggal karena serangan sakit Aneurisma otak yang mengakibatkan pendarahan pada batang otak .tidak ada tanda apapun sebelumnya,hanya keluhan pusing biasa,namun menghebat di malam hari itu,berlanjut muntah darah, pingsan koma,hingga menghembuskan nafas terakhir,semua berlangsung kurang lebih 10 jam.
Saya ditinggalkannya,dari keadaan segar bugar,seharian berduaan mengantar kegiatan anak2,karena kebetulan hari itu kami berdua menikmati libur, tiba tiba dia pergi. Diusia kami berdua yang sama 43 th,masih muda,produktif dan bahagia2nya melihat kedua putri kami beranjak remaja.
Terasa sedih luar biasa,hampa luar biasa,Tidak ada semangat lagi menjalani hidup ini.Dan ketika hari pemakaman, semua orang selalu berpesan sabar ya mbak, sabar ya bu, ikhlas ya Liz, diikhlaskan ya mbak...Ucapan belasungkawa mengalir dan selalu diakhiri pesan Sabar dan Ikhlas.
Ungkapan yang baik,simpati yang menyejukkan hati,namun hari demi hari kujalani dengan berat sekali,sabar itu kadang bisa terkendali,namun karena kini semua harus sendiri, terasa berat dilalui.
Kepada Tuhan saya mengadu,menangis,sabarkah saya,ketika kadang2 saya marah ke anak2 saya, padahal dulu hampir tidak pernah saya lakukan.Sabarkah saya ketika saya mengurung diri di kamar dan tidak peduli dengan keadaan.
Ikhlas, ikhlaskah saya ketika saya masih menangis, marah ke Tuhan, tidak terima mengapa suami saya dipanggil begitu cepatnya.
Ikhlaskah saya ketika dalam doa saya masih memohon dan memohon tanpa ucapan terimakasih kepada Tuhan.
Begitu sulit menjadi sabar dan ikhlas,ketika duka begitu mendera, dan menganggap kesedihan ini merupakan cobaan dan musibah semata.
Kini, hampir 100 hari kepergian suami saya, saya masih terus menangis ketika di tiap hari rabu datang ke pusaranya.Namun tangis saya sekarang tinggal tangis kerinduan padanya.Kekuatan pada akhirnya datang dari doa doa saya,kesabaran kesabaran saya yang makin tumbuh,melihat anak anak saya yang begitu tegar dan menguatkan saya.
Dalam kebuntuan hidup Ikhlas dan Sabar adalah kunci dalam menjalani hari hari bersama buah hati kami, dengan semangat cinta kasih yang suami saya tinggalkan.i