Di era digital yang semakin maju, sektor kesehatan di Indonesia juga ikut bertransformasi melalui digitalisasi, salah satunya dengan penerapan Rekam Medis Elektronik (RME). Sistem ini memungkinkan pengelolaan data pasien secara lebih cepat, efisien, dan terintegrasi. Namun, kemajuan ini memiliki tantangan besar, yaitu ancaman kebocoran data pasien yang sensitif. Data pasien seperti nama, alamat, riwayat kesehatan, dan informasi finansial adalah aset berharga. Kebocoran data ini bisa berdampak luas, mulai dari pencurian identitas hingga penipuan asuransi. Lebih parah lagi, informasi medis sensitif bisa digunakan untuk mendiskriminasi individu, bahkan menyebabkan trauma psikologis bagi pasien. Sebagai contoh, kasus kebocoran data pasien COVID-19 pada 2021 dan 2022 di Indonesia menunjukkan lemahnya sistem keamanan data di sektor kesehatan. Data yang bocor, mencakup NIK, nomor telepon, dan riwayat medis, dijual secara daring oleh peretas.Â
Bagi pasien, kebocoran data dapat menurunkan kepercayaan terhadap layanan kesehatan, menyebabkan kerugian finansial, dan berisiko pada kualitas perawatan. Sementara itu, institusi kesehatan menghadapi sanksi hukum, kehilangan reputasi, dan kerugian finansial akibat denda dan tuntutan hukum.
Dengan kebijakan seperti Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023, pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan perlindungan data pasien. Namun, keberhasilan transformasi digital ini bergantung pada kerja sama semua pihak, mulai dari institusi kesehatan, pemerintah, hingga masyarakat.
Melindungi data pasien bukan hanya soal mematuhi regulasi, tetapi juga menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan berbasis digital. Dengan langkah-langkah proaktif, sektor kesehatan Indonesia bisa memanfaatkan teknologi tanpa mengorbankan privasi dan keamanan data pasien
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H