Cancel culture adalah fenomena sosial yang terjadi dalam media sosial sebagai reaksi negatif pengguna internet secara massal terhadap suatu fenomena atau peristiwa, umumnya berupa kritik, cemooh, dan perilaku menjatuhkan terhadap individu, kelompok, atau instansi. Budaya cancel ditujukan sebagai bentuk protes terhadap suatu fenomena yang dianggap tidak sesuai oleh masyarakat, sehingga budaya ini seringkali dianggap sebagai penegakan keadilan agar target menyadari, mengakui, dan memperbaiki kesalahannya. Namun, apakah metode ini efektif?
Efektivitas cancel culture
Pada Juni 2024, 5 siswi SMP sempat viral karena membuat konten yang menghina warga Palestina yang sedang dilanda peristiwa genosida, sembari makan di suatu restoran cepat saji. Konten tersebut berupa video yang disebarkan pada platform X. Kasus ini mengundang banyak reaksi dari netizen di media sosial. Mayoritasnya menunjukkan reaksi negatif seperti mengecam dan mencemooh para siswi, mengomentari fisik, dan memberikan julukan-julukan tidak senonoh. Bahkan data pribadi dan asal sekolah mereka pun tersebar. Para siswi akhirnya membuat klarifikasi pada 12 Juni 2024 untuk menyatakan penyesalan mereka.
Kecaman netizen membuat para siswi ini menyesali perbuatan mereka dan meminta maaf. Namun, apakah cara yang dilakukan netizen tepat? Sepantasnya, cemooh dan ejekan yang para netizen lontarkan terhadap para siswi tersebut tidak dijustifikasikan sebagai penegakan keadilan atau sanksi sosial, melainkan disebut sebagai ujaran kebencian.
Pedang bermata dua
Praktek cancel culture, dapat membuahkan dampak positif dan negatif.
Budaya cancel menjadi sarana bagi kaum minoritas atau termarginal untuk meminta pertanggungjawaban dan akuntabilitas dari suatu pihak agar mendapatkan dukungan dan mencapai keadilan. Seperti pada tahun 2020 ketika fenomena Black Lives Matter terjadi; berupa bentuk keresahan masyarakat terhadap maraknya kasus pembunuhan terhadap penduduk ras African-American, khususnya oleh aparat kepolisian, atas dasar rasisme. Gerakan ini membuka mata dunia terhadap kekerasan yang kerap dialami oleh ras African-American, sehingga menarik simpati dan dukungan dari masyarakat secara global.
Dengan menyatukan suara dari setiap pengguna media sosial untuk melakukan protes, cancel culture mampu menjadi sarana bagi kaum masyarakat awam untuk mempengaruhi bahkan instansi besar sekalipun. Dalam kacamata ini, cancel culture dapat dipandang sebagai bentuk aktivisme.
Sayangnya, cancel culture umumnya menyebabkan lebih banyak kerusakan. Budaya ini seakan-akan menormalisasi cyberbullying karena identik dengan lontaran ujaran kebencian dan ancaman kematian (death threats). Dalam hal ini, tujuan umumnya adalah untuk melakukan public shaming dengan dalih kebebasan berpendapat.Â
Selain itu, pengguna-pengguna yang terlibat dalam cancel culture tidak hanya dapat menyerang pihak pelaku, melainkan juga pengguna-pengguna yang tidak sepaham dengan mereka. Akibatnya, ruang berekspresi di internet terasa terbatas; pengguna dapat merasa kebebasan berpendapatnya dikekang oleh kebebasan berpendapat pengguna-pengguna dengan pandangan mayoritas.
Pengaruh terhadap target