Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Keluarga sebagai Komunitas Berbagi Pangan

30 Oktober 2018   20:26 Diperbarui: 30 Oktober 2018   21:21 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pangan merupakan salah satu kebutuhan primer setiap manusia. Peran pangan bukan hanya sebagai pemenuhan asupan gizi namun juga sebagai penghasil energi yang digunakan tubuh untuk beraktivitas sehari-hari. Mengingat betapa pentingnya peran pangan bagi kelangsungan manusia, hendaknya setiap individu selalu berusaha menjaga dan meningkatkan kualitas pangan yang dikonsumsinya. Setiap individu diharapkan dapat mengonsumsi pangan yang memiliki gizi seimbang dan mencukupi kebutuhan hariannya.

Berbicara masalah pangan lebih mendalam, pangan tidaklah lepas dari peran keluarga. Rata-rata, setiap individu mulai mengonsumsi pangan sejak berusia enam bulan. Pada tahap ini, bayi diperkenalkan pada makanan halus seperti bubur susu dan pure buah serta sayuran. Seiring pertumbuhan dan perkembangannya, pangan yang dikonsumsi semakin beragam dari segi macam maupun jumlahnya. 

Pada tahap ini, peran keluarga dalam pemberian pangan juga menentukan bagaimana seseorang dalam proses tumbuh kembangnya. Jika kekurangan atau kelebihan suatu bahan pangan, dapat berakibat tidak baik bagi tubuh.

Setiap tahun Gereja Katolik merayakan Hari Pangan Sedunia sebagai ungkapan rasa syukur akan kasih Allah yang telah memberikan rezeki yang cukup berupa aneka bahan pangan untuk kelangsungan umat manusia. Hari Pangan Sedunia diperingati sejak 1982 dan jatuh setiap 16 Oktober. Hari Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun ini diperingati pada Hari Selasa, 16 Oktober 2018 yang mengangkat tema "Keluarga sebagai komunitas berbagi pangan". Keluarga Katolik diundang untuk menyadari bahwa sumber pangan yang telah diberikan oleh Allah secara cuma-cuma adalah juga diperuntukkan bagi kesejahteraan semua orang dengan kerelaan untuk berbagi, terutama kepada saudara-saudara kita yang miskin dan kelaparan.

Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko, mengajak umat Katolik untuk mengembangkan keutamaan untuk menghargai pangan dan kesediaan berbagi, terutama dengan mereka yang berkekurangan. Beliau juga mengajak untuk bersyukur, berbangga, dan bergembira bersama-sama secara khusus kepada umat yang bekerja sebagai petani, peternak, atau nelayan karena boleh ambil bagian dalam karya Allah menyejahterakan sesama melalui kerja yang menghasilkan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap manusia.

Peran keluarga tidak boleh hanya berhenti sampai pemberian pangan. Kerap kali jika ada suatu acara atau memiliki bahan pangan yang berlebih, biasanya kita membagi-bagikannya pada orang lain atau kepada tetangga sekitar. Mengambil contoh pada saat syukuran suatu peringatan, sebuah keluarga biasanya membagikan pangan berupa makanan atau sembako kepada orang-orang di sekelilingnya. Hal semacam ini kemudian menjadi suatu budaya yang hidup di kalangan masyarakat. 

Atau ketika seorang ibu membuat makanan dalam jumlah berlebih kemudian ia membagikannya kepada tetangga-tetangga terdekat. Hal-hal kecil semacam inilah yang secara tidak langsung membuat keluarga bukan hanya sebagai lingkungan pembentuk kebiasaan pangan namun juga untuk berbagi pangan.

Hal-hal kecil di atas hanya merupakan contoh nyata sebuah usaha pemerataan pangan. Kita menyadari bahwa tidak semua orang dapat mengonsumsi bahan pangan yang layak. Sebagai keluarga atau seseorang yang lebih mampu, kegiatan kecil di atas dapat menjadi langkah awal untuk membantu banyak orang di luar sana mencukupi kebutuhan pangannya.

Kita belajar untuk berbagi pada sesama, janganlah serakah, semua yang kita bagikan dan berikan kepada orang lain sekecil dan sedikit apapun itu, Tuhan pasti akan memberikan sesuatu yang berlebih kepada kita. Kitapun diajak untuk membiasakan berdoa sebelum dan sesudah makan baik pribadi maupun secara bersama, mengusahakan pola makan teratur dan mengonsumsi makanan yang sehat. Mari kita luangkan waktu satu hari dalam seminggu untuk berpantang yang dimaksud secara simbolis untuk ikut merasakan keprihatinan saudara-saudara kita yang berkekurangan atau dengan kata lain rezeki yang kita dapatkan juga dapat mengalir pada mereka dan membangun budaya untuk tidak menyisakan dan membuang-buang makanan.

Elizabeth Calista Maheswari
Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun