Mohon tunggu...
Eliza Rifaatus
Eliza Rifaatus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benturan Untuk di Bentuk

21 Desember 2024   21:29 Diperbarui: 21 Desember 2024   21:29 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejuknya udara dikaki Gunung Slamet yang memancarkan warna biru tua sangat tegas, siapapun yang melihatya akan memuji keindahan-Nya, gemercik air yang tak pernah berhenti disepanjang pondok ini. Ya, tepatnya pondok yang hidup berdampingan dengan sungai. Begitupun suara burung yang saling mengeluarkan ciri khas suara mereka menghempaskan sayap nan indah yang entah kemana mereka akan terbang. Matahari terlihat indah pagi ini, memancarkan cahaya yang cerah dan menyengat tubuh. Semilir angin pun menjadi perantara keringnya jemuran santri. Jemuran bawah atap dengan besi yang dirangkai kotak-kotak dimanfaatkan oleh santri untuk mengeringkan bajunya.

Keesokannya, tdeeettt....tdeeet....tdeeet.... sebuah rutinitas suara dipagi hari menandakan alarm santri untuk bersiap-siap sholat subuh berjamaah di mushola. "Duhhh berisik kali lahhhh, ganggu orang tidur aja, gak tau apa semalam aku begadang demi nonton film drakor yang terbaru," ucap Nadin yang masih setengah sadar dari tidurnya. Tangannya memencet Handphone, pancaran sinar layar hp nya langsung mengenai wajah bantalnya dengan mata yang silau, dia bermaksud melihat jam yang ada di layar hp nya dan menyalakan data selularnya, munculah satu persatu chat yang masuk di layar WhatsAppnya. Huuh.... sambil menarik nafas ia berucap "Grup lagi grup lagi," ucap Nadin dengan nada lirih. Dalam batinnya dia berharap orang spesialnya mengechat dia, itulah sebabnya dia suka menonton film drakor sampai tengah malam untuk mengisi kegundahan hatinya.

Bangkitlah ia dari tidurnya, menjalankan rutinitas pondoknya yang kadang dilakukannya dengan sedikit memaksakan diri. Dipakailah sarung, jas dan dengan kerudung motif bunga-bunga berwarna salem dan bergegas ke kamar mandi belakang dapur lantai dua, dimana dulunya kamar mandi itu tidak pernah menyala selama dia belum masuk pondok. Dengan langkah pelan menuju kamar mandi ia berharap tidak antri seperti kemarin. Mata pandanya pun samar-samar melihat beberapa orang yang sedang antri kamar mandi, ia menemukan kamar mandi yang tak ada "bare" itulah sebutan santri di pondok ini, tokk tokk tok... "Mba masih lama?" tanya Nadin kepada orang yang sedang mengguyurkan air didalam kamar mandi "Lumayan mba," jawab mba dalam kamar mandi. "Bare yah mba", ucap Nadin. "Wokeey mba", jawab mba itu. la menunggu antriannya dengan duduk diember, ia merasakan sedikit pusing dikepalanya dan tenggorokannya pun terasa panas. Dalam hatinya berharap tidak terjadi apa-apa pada dirinya dan ia berfikir akan sembuh pagi ini, padahal ia mempunyai riwayat penyakit tivus dan amandel ditenggorokannya, tetapi ia tidak terlalu memikirkan apa yang sedang ia rasakan saat ini.

Hari ini hari Kamis, ia mengingat kemarin sore makan mendoan yang ditutul sambal kosek yang ditawarkan oleh temannya dan es jeruk yang sangat segar keasaman. Terkadang ia sadar bahwa dirinya tidak boleh memakan makanan pantangan yang dianjurkan oleh dokter. "Aaahhh, sedikit kok.. yang pentingkan tidak setiap hari, pikirnya. Padahal dia sudah tidak diperbolehkan lagi meminum es oleh dokternya. Setelah itu, giliran ia masuk kamar mandi, membersihkan dirinya dan mengambil air wudhu. Tak lama kemudian bel kedua pun berbunyi menandakan seluruh santri untuk bergegas ke mushola untuk melaksnakan sholat subuh berjamaah dan ngaji kitab At-Tibyan yang diampu oleh Gus Yusuf. Sekitar pukul setengah tujuh selesai ngaji ia langsung beres-beres almarinya yang menurutnya jika dipandang membuatnya sakit mata. "Din, beli sarapan yukk," panggil Laila dari depan pintu kamar. "Siap, yukk gaskeun," jawab Nadin dengan nada semangat mengalahkan rasa sakit yang sedang ia rasakan.

"Nasi rames dibungkus bu", ucap Nadin kepada ibu- ibu penjual nasi. "Oke mba, sayurnya apa?" tanya ibu-ibu penjual nasi. "Emm.. sayurnya kangkung, tongseng tahu, mendoan sama teh manis angetnya satu yah bu," jawab Nadin. "Siap mba, ditunggu ya," ucap ibu itu. Kemudian ia menyelesaikan pembayarannya dikasir kemudian bergegas pulang kepondok yang tidak jauh dari warung nasi ramesnya itu. Sampailah ia dikamar dan menyegerakan sarapannya dan setelah itu berniat mandi. Sebelum mandi ia merasa bantalnya sudah sangat tidak enak untuk membaringkan kepalanya, akhirnya ia menjemur bantalnya di sebelah kamarnya, tak lupa ia juga mengajak temannya untuk mejemur bantalnya. "Mumpung panas hahaha," ujar Ningsih teman sekamar Nadin. Setelah selesai mandi, ia mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur siang mengingat semalam jam tidurnya kurang dan berharap panas ditubuhnya turun. Suara adzan duhur berkumandang, ia terbangun dari tidurnya dan merasakan panas ditubuhnya semakin bertambah. Ia bergegas mengambil air wudhu dan sholat, untung saja masih ada persediaan obat penurun panas di almarinya. "Alhamdulillah....." ucap Nadin. Bismillahirrohmanirrohim.... Diminumlah obatnya, Ia memutuskan untuk istirahat kembali, tetapi ia tidak bisa tidur lelap karena tubuhnya yang terasa semakin panas.

Tidak lama kemudian, adzan ashar berkumandang. Cuaca sore itu sangat mendung disertai angin yang kencang, pertanda hujan lebat akan segera datang. Suara sandal berlarian semakin keras terdengar, menyelamatkan jemuran sambil teriak-teriak layaknya santri putri pada umumnya. Wusssss...wussss... Suara angin dan hujan mulai turun, ember-ember terbawa angin dan jemuran yang sudah kering berjatuhan. Dengan menegadahkan tangannya, Nadin berdoa "Allahumma Shoyyiban Naafi'an (Ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat), aamiin"...

"Mba mba yang punya jemuran," teriakan salah satu santri senior dipondok ini. Memang suasana hujan adalah waktu yang sangat enak untuk tidur, salah satunya Ningsih yang sedang tertidur dengan pulasnya. Nadin dan Ningsih sama sekali tidak ingat dengan jemuran bantalnya, yang Nadin pikirkan adalah ia tak punya jemuran baju, jadi ia merasa tenang. Tak lama kemudian ada salah satu tetangga kamar yang meneriaki dengan nada kencang dan panik, bantal.... bantal....bantal punya siapa... Mau aku ambilkan tetapi petir sudah sangat menakutkan, ungkapnya. Seketika itu Nadin langsung panik dan kaget mendengar teriakkan itu, dan ia pun langsung membangunkan Ningsih yang tertidur lelap. Mereka pun lari menuju jemuran bantal untuk menyelamatkannya. Tak berselang lama, hujan pun telah mengguyur tubuh si bantal. Nadin bergegas lari mencari payung untuk melindungi tubuhnya dari rintikkan hujan yang deras. "Sudah Din, biarkan bantalnya basah," ucap Ningsih kepada Nadin "Biarkan aku saja yang ambil Ning, kamu tunggu saja depan pintu, nanti aku berikan bantalnya," jawab Nadin yang masih berpikir bahwa bantalnya belum sepenuhnya basah. Mereka lari kocar-kacir membawa bantal yang meneteskan air disepanjang lorong kamar itu, rasa panik dan bingung campur aduk seketika itu. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menaruh bantalnya yang disampirkan ke tembok pembatas antara dapur dan jalan setapak depan kamar Hafsoh dan Asiyah.

Nadin tidak memikirkan kesehatannya saat itu, padahal ia sedang tidak enak badan, badannya panas. Nadin sama sekali tidak memikirkan akibat setelah tubuhnya terkena air hujan. Dugaan temannya benar, Nadin benar-benar down. Nadin meminta tolong temannya untuk ngerokin. Ya, itulah kebiasaan Nadin dari kecil yang diajarkan orang tuanya ketika sakit. 

"Aku akan sembuh sehabis dikerokin", pikirnya. Tangannya memegang minyak kayu putih yang berada disebelahnya dan dioleskan disekujur tubuhnya sambil menghirup aroma kayu putih itu dengan harapan semoga lekas membaik. Nadin sangat bersyukur memiliki banyak sahabat yang begitu perhatian ke Nadin. Sambil menikmati pijitan dikepalanya tak lupa Nadin mengucapkan terimakasih kepada sahabatnya yag selalu ada disaat dia sakit.

Tiga hari ia demam, panas dingin dirasakannya. Apalagi waktu sore, badannya menggigil, padahal ia sudah memakai jaket dan kaos kaki serta selimut yang bergambar monyet lucu. Astaghfirullah astaghfirullahaladzim..., kalimat yang biasa ia ucapkan saat menggigil. Hari ke empat demamnya turun, "Alhamdulillah udah mendingan Ma", dengan berbaring miring, Nadin mengangkat telfon dari ibunya dengan meletakkan Hp diatas telinganya dan berusaha menenangkan rasa khawatir ibunya yang hampir setiap jam menghubungi dirinya. Nadin anak pertama dari tiga bersaudara, ia adalah panutan adik-adiknya kelak. Nadin berusaha tidak membuat cemas bidadari tak bersayapnya itu dengan keadaanya di pondok saat ini. Namun, ibunya sudah jauh merasakan keadaan Nadin saat ini, rasa khawatirnya lebih besar saat itu. Tidak berhenti-berhenti ibunya selalu menanyakan kesehatannya, sebuah desakan yang membuat Nadin berkata sejujurnya perihal kondisinya sekarang.

Alhamdulillah keadaannya semakin hari semakin membaik, ia berfikir dengan kejadian yang dialami kemarin sebagai pembelajaran dirinya supaya tidak teledor dan juga kehidupan dipondok tidak seperti kehidupan dirumah yang tentram dan selalu ketergantungan kepada orang tua. Kehidupan dipondok harus mandiri, kesehatannya juga harus dijaga sendiri. Ingat nikmat itu hanya sesaat, pikirkan dulu akibatnya sebelum bertindak. la merasakan benturan dirinya dikehidupan pondok yang apapun harus mandiri, hafalan harus dijaga, disiplin waktu, peraturan untuk dipatuhi. Semua itu sebagai bekal hidupnya setelah lulus pondok dengan bekal agama. Waktu muda adalah yang tepat untuk belajar, semua yang dilakukan di pondok pasti ada hikmah dan manfaatnya dikehidupan selanjutnya kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun