Bagi yang masih pelajar atau mahasiswa, sistem SKS (Sistem Kebut Semalam) bukan merupakan hal baru, tetapi sudah menjadi tradisi. Belajar secara maraton dalam satu malam untuk menghadapi ujian esok hari. Meskipun harus sampai terkantuk-kantuk, target mempelajari topik yang akan diujikan besok pagi harus tercapai. Berbagai upaya pun dilakukan, mulai menyediakan cemilan, kopi penahan kantuk, sampai vitamin dan suplemen.
Pastinya, tradisi seperti ini bukanlah tradisi yang baik. Karena itu, sebenarnya siswa telah diajarkan untuk membuat perencanaan yang benar. Untuk belajar secara secara prosedural, yaitu mengulang pelajaran yang disampaikan pada hari itu, dan merencanakan pelajaran yang akan dipelajari esok hari. Dengan demikian, ketika ujian dilaksanakan, siswa tidak tergopoh-gopoh dalam menghadapi ujian tersebut.
Gambaran perilaku siswa di atas bisa menjadi cermin 'kegupuhan' bangsa Indonesia dalam menghadapi wacana yang bersifat regional dan internasional. Ketika menghadapi program yang bersifat regional dan internasional, apa pun bentuknya, Indonesia selalu melirik ke dalam dengan was-was, siapkah Indonesia menghadapinya? Lantas, apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya? Bagaimana caranya? Dan beragam pertanyaan serupa terus bergelayutan dalam benak bangsa Indonesia.
Hal sama terjadi saat AFTA (ASEAN Free Trade Area) digulirkan dan disepakati oleh negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk diimplementasikan pada tahun 2015. AFTA merupakan sebuah kebijakan perdagangan bebas di wilayah ASEAN. Dengan adanya kesepakatan ini maka setiap negara anggota ASEAN harus siap untuk menghadapi persaingan bebas di wilayah ASEAN. Dari sisi ekonomi, AFTA merupakan peluang istimewa, karena Indonesia dapat menembus pasar asing dengan lebih mudah. Di sini, tuntutannya 'sederhana' yaitu, Indonesia harus dapat menempatkan produk yang dihasilkan secara lebih unggul dibanding dengan produk asing, karena konsumen akan lebih memilih produk yang memiliki nilai dan manfaat (value and benefit) lebih dalam perspektif mereka.
Selain dapat menembus pasar asing, Indonesia juga akan kebanjiran produk asing. Sekali lagi, di sini, Indonesia juga harus mampu bersaing dalam menghasilkan dan menyampaikan produknya agar produk yang dihasilkan mampu bermain cantik di negeri sendiri. Karena akan menjadi tragedi, ketika produk bangsa harus 'keok' di negeri sendiri.
Siapkah?
Siap tak siap harus siap, karena sebenarnya secara sumberdaya alam, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya. Secara budaya, Indonesia juga memiliki ragam corak budaya yang unik dan menarik, sehingga ketika corak dan nilai-nilai budaya diaplikasikan dalam kehidupan sosial dan ekonomi, maka hal itu akan menjadi warna yang menguatkan posisi Indonesia di tengah persaingan bebas di area Regional (ASEAN), dan bahkan di area Internasional.
Penguatan-penguatan karakter bangsa perlu segera menjadi sorotan, agar bangsa Indonesia mau menghargai produk dalam negeri, baik saat produk tersebut berada di dalam negeri maupun ketika sudah berada di pasar asing. Indonesia harus memunculkan kearifan lokal dengan mengolaborasikannya dengan mutakhirnya teknologi, agar diplomasi budaya (cultural diplomacy) dapat mendorong kekuatan politik (soft power), Â ekonomi, dan budaya bangsa di ranah asing.
Lihat saja anak muda sekarang yang menggandrungi film dan artis Korea, maka segala pernak-pernik, accessories, pakaian, sepatu, jaket, makanan, dan ragam produk berbau Korea dengan mudah diterima. Hal ini menunjukkan adanya soft power yang mendukung kekuatan ekonomi dan budaya bangsa Korea di Indonesia. Demikian pula dengan yang menggandrungi film-film Walt Disney, maka segala produk yang pernah digunakan dalam film tersebut akan menjadi properti menguntungkan.
Oleh karena itu, dalam menghadapi AFTA 2015, mulai sekarang para birokrat dan ekonom Indonesia dituntut untuk dapat bergandengan tangan dengan para sastrawan, seniman, dan sutradara untuk menggali nilai dan corak kearifan lokal untuk disajikan secara cantik, luwes, dan menarik, sehingga mudah diterima dan dicerna oleh seluruh nurani manusia dengan mudah. Hal ini menjadi krusial karena budaya latah terhadap modernisasi selama ini telah menggerus karakter bangsa Indonesia, sehingga kearifan lokal tidak lagi terlihat dengan jelas, karena tertutup oleh modernisasi berbalut westernisasi, bahkan koreanisasi.
Jadi, jika ditanyakan tentang kesiapan Bangsa Indonesia menghadapi AFTA 2015. Jawabannya adalah Siap Tak Siap Harus Siap. Walaupun harus belajar dan praktikum secara maraton dan bertubi-tubi. Pengalaman membuktikan, meskipun sistem belajar secara SKS banyak diterapkan oleh pelajar, tetapi banyak sekolah di Indonesia yang siswanya lulus 100 persen ....