Mohon tunggu...
Elisa Faizaty
Elisa Faizaty Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 Institut Pertanian Bogor

Selanjutnya

Tutup

Money

Hikayat Kotak Pandora, Dua Sisi Mata Uang yang Tak Terpisahkan *harapan ditengah-tengah ruwetnya kondisi pertanian bangsa

20 Juni 2010   05:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pernahkah kita mendengar sebuah kisah dari mitologi yunani tentang Kotak Pandora? Kisah yang sarat metafora, yang berkisah bahwasanya dahulu kala selain dihuni oleh manusia, bumi juga dihuni oleh para titan. Zeus memerintahkan kepada seorang dewa buruk rupa, Haphaestus, yang memiliki keahlian dalam seni untuk membuat sebuah patung. Haphaestus membuat sebuah patung yang kecantikaannya menyerupai dewi Aphrodite. Oleh zeus, patung tersebut diberi kehidupan dan dinamai Pandora. Dan Pandora dititipi sebuah kotak rahasia yang tak boleh ia buka. Untuk beberapa lama Pandora mentaati aturan untuk tidak membuka kotak tersebut. Namun, rasa keingintahuan Pandora yang begitu besar membuat dia lama-kelamaan semakin penasaran dengan isi kotak itu. Maka dibukalah kotak tersebut. Rupanya, dalam kotak tersebut Zeus menyimpan segala bentuk kejahatan, kelemahan, wabah penyakit, keburukan, penghiatan, dan segala macam hal buruk lain dan belum pernah diketahui manusia di bumi. Sejak saat itu berhamburanlah semua bencana tersebut di bumi. Hanya saja disamping semua keburukan tersebut, juga ada hal lain yang dismpan dalan kotak Pandora. Yaitu adanya sebuah kekuatan yang dapat melawan semua keburukan tersebut, yang menjadikan manusia mempunyai kekuatan untuk bertahan dalam menjalani hidup, yaitu HARAPAN. Inilah dua sisi mata koin yang tak dapat dipisahkan, yang merupakan sebuah ketentuan dalam kehidupan manusia.

Sebuah kisah yang sangat metaforik dengan kondisi bangsa kita. 64 tahun sudah Indonesia merdeka, nampaknya nasib bangsa Indonesia tidak mauberanjak dari peraduannya.Masih banyak PR yang harus dilakukan seluruh komponen bangsa Indonesia. Rasa-rasanya, hingga usia 64 tahun kemerdekaan pun bangsa ini belum benar-benar menemukan karakter dan jati dirinya. Satu per satu masalah datang dan tak kunjung terselesaikan. Kemiskinan, kualitas kan kesejahteraan hidup yang rendah, krisis moral, krisis kepercayaan, dan kesenjangan social mewarnai kehidupan rakyat Indonesia sejak lama, dan dewasa ini terlihat semakin tajam. Namun, ada satu hal yang dapat menguatkan diri kita, yaitu harapan dan optimisme bahwa Indonesia mampu mengatasi berbagai masalahnya.

Bicara tentang kemiskinan memang tak bisa lepas daripertanian. Hal ini karena sebanyak 46 % rakyat Indonesia bekerja di sektor ini. Dan dari jumlah tersebut, 70%nya merupakanmasyarakat miskin. Berbagai macam upaya pembenahan telah dilakukan pemerintah, diantaranya dicetuskannya revolusi hijau, dan industrialisasi berbasis pertanian. Namun kennyataannya, hingga kini kehidupan petani masih sarat dengan kemiskinan. Ibarat sebuah pepatah, “Bagai tikus mati di lumbung padi”. Sebuah kenyataan lain juga menunjukkan bahwa bagsa kita juga masih memiliki ketergantungan impor yang sangat tinggi. Bayangkan saja, garam pun harus impor dari Australia. Padahal Indonesia sendiri punya tambak-tambak garam yang belum banyak dioptimalkan.

Pada tahun 2004, yaitu era perdana kepemimpinan SBY, revitalisasi sektor pertanian untuk mengurangi angka kemiskinan menjadi salah satu poin yang diagendakan dalam tiga strategi jalur pembangunan perekonomian Indonesia. Namun masih tetap saja, tak banyak membuahkan hasil. Bahkan menurut Peter Timmer, seorang mantan profesor Harvard yang sekaligus seorang Indonesianis menyatakan bahwa revitalisasi pertanian SBY masih sebatas retorika.

Selanjutnya, kebijakan pembangunan SBY dalam RAPBN 2010 adalah 3P, yaitu pro growth, pro poor,serta pro job. Namun, pertanian malah ditempatkan pada urutan ke-10 dari 10 skala prioritas pembangunan. Anggaran pembangunan infrastruktur pedesaan hanya dialokasikan sebesar 0,93 triliun. Alokasi dana yang rendah tentunya akan memperlambatpembangunan pertanian. Selain itu, anggaran dana yang dikucurkan ke deptan turun dari 8,1 triliun rupiah menjadi 7,9 triliun rupiah. Walaupun memang, anggaran pertanian tersebar di beberapa lembaga, seperti departemen dalam negeri, departemen pekerjaan umum, departemen perhubungan, serta departemen tenaga kerja dan transportasi.

Disamping itu, hal yang paling tidak disadari oleh pemerintah adalah mengubah sistem kelembagaan petani di Indonesia. Semua bentuk kucuran dana, pembangunan infrastruktur, dan pengembangan teknologi tak akan ada gunanya jika mindset dan orientasi petani kita tidak diubah. Oleh sebagian besar petani, selama inipengembangan pertanian hanya dianggap sebagai “theway of life”. Tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Bapak seorang petani, anaknya pun seorang petani, cara menanan, cara membajak, cara menuai juga sama. Belum ada cara pandang petani Indonesia bahwa pertanian merupakan ladang dan potensi bisnis yang dapat menjadi ujung tombak peningkatan ekonomi Indonesia. Hal inilah yang membuat perkembangan pertanian bisa dikatakan masih jauh dari harapan. Cenderung stangnan, walaupun jika dikomparasikan dengan sektor lain pertanian masih ada pertumbuhan. Kita sudah tertinggal jauh dengan negara-negara lain yang dahulunya menimba ilmu dari Indonesia. Bahkan beberapa komoditas pertanian yang menjadi ikon negara-negara tersebut merupakan tanaman yang lahir dari rahim ibu pertiwi kita ini. Oleh karena itu, Petani harus digiring menjadi seorang revolusioner kehidupan. Menjadi agen perubahan yang kuat dan mandiri. Terutama dalam menghadapi krisis pangan global.

Keinginan luhur, untuk dapat melihat bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat, gemah ripah lo jinawi. Sebuah pertanyaan besar hadir, lantas siapakah yang harus bertanggung jawab? Dan saya kira anda sependapat jika kita sama-sama menjawab dalam diri kita masih-masing, “Semua rakyat indonesia, tak terkecuaali satupun”. Teringat sebuah semboyan Pangeran Mangkunegara III,yaitu : Rumangsa melu handarbeni, wajib melu hanggandheli, mulat sarira hangsara wani.Merasa ikut memiliki, wajib ikut mempertahankan, dan beranimewawas diri. Jadi, tak ada satu pun alas an yang mengijinkan kita untuk abstain bertanggung jawab atas nasib bangsa kita. Siapapun kita, marilah kita melayani dan berkontribusi bagi bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun