Mohon tunggu...
Elisa Natalia
Elisa Natalia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Primordialisme yang Mengakar Kuat

15 November 2017   18:00 Diperbarui: 15 November 2017   18:26 10315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Sentimen Primordial" bukanlah kata asing lagi bagi kita, seperti yang kita ketahui Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai perasaan kesukuaan yang berlebihan (berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia). 

Salah satu indikasi kuat adanya sentimen primordial pada politik di Indonesia adalah fenomena pasca-reformasi dengan munculnya banyak partai politik yang bersifat kedaerahan dan berkesukubangsaan.

Banyak faktor yang mempegaruhi adanya sentimen primordial yang mengakar kuat dalam masyarakat, adapun faktor tersebut adalah kurang terbentuknya karakter bangsa. Dalam suatu Negara, sangat diperlukan rasa memiliki Negara oleh para penduduknya, jika karakter demikian tidak ada dalam masyarakat maka akan dengan mudahnya sentimen primordial menyebar luas dan sulit untuk dihilangkan, karena tidak ada kesadaran untuk membuat Negara semakin lebih baik melalui pemilihan pemimpin yang tepat (yang tidak harus mengedepankan perasaan kesukaan yang berlebihan pada etnis, agamanya). 

Selain itu, Sentimen primordial juga dilatarbelakangi oleh sikap ambivalensi yang seringkali ditunjukkan pemerintah dalam menghadapi isu terkait negara dan agama, terkadang pemerintah mengerti bahwa sentimen primordial telah mengakar kuat dalam masyarakat namun pemerintah tidak tahu bagaimana cara mengatasinya (atau di sisi lain ingin mempertahanannya karena dianggap menguntungkannya), karena dalam praktiknya pemerintah justru mencerminkan adanya sentimen primordial (contohnya pada pilkada Jakarta).

Faktor-faktor itulah yang akhirnya memicu timbulnya pertanyaan "Apakah Sentimen primordial dapat dihilangkan dalam masyarakat?". Sentimen Primordial telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, sehingga sulit untuk menghilangkannya, sebenarnya banyak orang telah mengkritisi hal ini dan mencoba  untuk mengurangi sentimen primordial dalam masyarakat Indonesia, salah satu contohnya Presiden SBY tentang pemilu di Yogyakarta untuk memilih gubernur dan mengurangi dominasi peran Sultan, akan tetapi beliau justru mendapat kecaman keras dari rakyat Yogyakarta yang terlanjur menjiwai budayanya. 

Namun hal ini juga bukan berarti tidak bisa, ada beberapa cara untuk mengurangi kentalnya sentimen primordial dalam masyarakat, misalnya melalui pendidikan formal. Pentingnya ditanamkan nilai-nilai Kebhinekaan dan persatuan dalam menghadapi masyarakat yang majemuk sejak dini melalui pendidikan di sekolah, walaupun pada kenyataannya hal ini akan menjadi agak sulit karena pada umumnya sentimen primordial telah ditanamkan sejak dini dari pendidikan dalam keluarga baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Selain melalui pendidikan formal, sentimen primordial juga dapat diminimalisir dengan adanya gerakan pluralisme dalam kelompok itu sendiri, karena akan lebih mudah untuk merubah pola pikir suatu kelompok jika dimulai dari anggota dalam kelompok itu sendiri yang secara tidak langsung menentang sentimen primordial.

Seorang pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, kompetisi pilkada yang berbasis sentimen bersifat primordial justru menurunkan kualitas proses demokrasi. Mari kita bersama-sama menjadi agen perubahan! Jika bukan kita, siapa lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun