Horor kok menghibur? Yup. Awalnya saya juga punya kengerian. Soalnya film horor Thailand identik dengan menyeramkan. Saya memutuskan daftar untuk ikut Nobar bersama Komunitas KOMIK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub). Keberuntungan berpihak ada saya dan saya menjadi satu dari 10 peserta yang terpilih.
Kemacetan Sudirman-Thamrin membuat saya sedikit terlambat. Hilang pada bagian awal nggak membuat hilang keseramannya. Yang membuat suasana terasa mencekam, sound track musiknya!. Pemainnya ganteng banget, tapi dengan musik yang selalu membuat dada jadi berdentam keras karena kaget, agak-agak bikin cemas.
Saya nggak tahu dengan orang lain, tapi setiap menyaksikan film/sinetron, kepala saya ikut bermain seolah sutradara. Di kepala saya, bergerak terus, kadang mengikuti film, kadang merencanakan sendiri alias tebak-tebakan. Brengseknya, ini film Thailand nggak bisa di tebak.
Kegantengan pemainnya menghibur tapi tidak mengurangi tingkat keseramannya. Jika saya memberi judul Take Me Home, Horor yang Menghibur, soalnya emang menghibur. Rasa takut yang dibangun dalam film dan dibuat dengan tekanan terus menerus, membuat akhirnya rasa takut itu lenyap dan berganti penasaran. Apa sih maunya sutradara? ke arah mana film ini mau di bawa.
Sebetulnya kisahnya sederhana. Rumah selalu menjadi tempat pulang atau setidaknya tempat yang di bangun dalam hati dan dikenang selalu untuk "pulang". Take Me Home, menceritakan perjalanan pulang menuju rumah, tempat masa kecil Tan yang diperankan Mario Maurer. Ceritanya si Tan, korban tabrakan lalu amnesia. Perjalanan waktu pelan-pelan menghadirkan kenangan tentang siapa dirinya Tan, siapa keluarganya. Kenangan yang kembali ke ingatan Tan, membuatnya ingin pulang dan mencari idntettias diri dan keluarga. Maka pulanglah Tan. Pulang juga bermankan mengenali idntetitas diri.
Tidak diceritakan, berapa lama Tan menghilang. Kembali Tan ke rumah di sambut, Bibi, saudara perempuan yang sudah menikah dan memiliki dua anak serta suaminya. Diketahui saudara perempuannya ternyata bukan sekadar saudara melainkan saudara kembar. Cerita dibuat dengan alur maju mundur dan pengulangan. Pengulangan adegan sangat mencekam, beberapa kali penonton mendapat kejutan. Bahkan  membuat saya berteriak, Anjrit!
Ternyata ketakutan yang memuncak, release dengan tertawa. Ya, akhirnya pada puncak ketakutan, penonton tertawa. Brengseknya, sutradara sangat pandai mengolah emosi penonton. Sehabis tertawa, penonotn kembali dibawa ke suasana mencekam. Terutama pada bagian, wajah-wajah para penghuni rumah jelang malam, mulai sekilas terlihat sebagai mayat yang sudah membusuk.
Pelan-pelan ingatan Tan kembali, rasa takut dalam dirinya membuat ia ingin ke luar dan pergi. Dalam proses melarikan diri dari ketakutannya, Tan dipaksa menghadapi ketakutannya sendiri. Di sinilah keberhasilan sutradara meramu cerita. Karena bukan hanya Tan yang dipaksa menghadapi ketakutannya, para penontonpun menjadi penasaran. Apa yang bakal Tan hadapi? Di satu sisi. penonton dibiarkan menyusun puzle cerita dalam benaknya. maka emosi penontonpun sama teraduk-aduknya, seolah Tan menjelma dalam diri kami..eh, saya.
Jadi ceritanya bagaimana? Aduh...jangan kepo dong. Nonton saja sendiri dan rasakan bagaimana puncak ketakutan berubah menjadi rasa penasaran. Yang pasti film ini keren. Tak me home bisa dipahami sebagai pulang pada keabadian alias mati. Atau pulang dalam pengertian berkompromi dengan diri sendiri. Recomended banget, deh.
Ganre        :  Film Horror / Suspense
 Director      :  Kongkiat Khomsiri