Mohon tunggu...
Elisa Koraag
Elisa Koraag Mohon Tunggu... Administrasi - Influencer

Saya ibu rumah tangga dengan dua anak. gemar memasak, menulis, membaca dan traveling. Blog saya dapat di intip di\r\nhttp://puisinyaicha.blogspot.com/\r\nhttp://www/elisakoraag.com/ \r\nhttp:www.pedas.blogdetik.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Empati yang Salah

17 Juni 2015   07:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kok bisa? Bukankah berempati adalah baik? ya, jika diterapkan pada persoalan, waktu dan tempat yang benar. Media sosial sedang diramaikan kisah kakek berprofesi sebagai badut/penghibur anak-anak di Surabaya. Sebuah radio siaran swasta lewat fan page di fb menuliskan informasi mengenai apa dan siapa si kakek. Info yang menarik empati pembaca terus di bagikan oleh banyak orang. Si kakek menjadi terkenal. Kisahnya bisa dibaca di info berikut:

Masyarakat Indonesia memiliki hati yang permurah dan mudah berempati. Kondisi ini dipahami dan dikenal baik sesama masyarakat Indonesia. Sehingga tidak sedikit yang menarik keuntungan dari sifat baik tersebut. Dari contoh kasus kakek yang berpofesi sebagai badut Winnie the Pooh. Betapa orang Indonesia sangat mudah terpancing dan iba melihat kondisi fisik si kakek. Bahkan langsung terpedaya mendengar kisah si kakek yang diceritakan konon menderita stroke, hidup sebatang kara dan harus menghidupi diri sendiri. Maka mudahlah orang terpancing empatinya, dan ujung-ujungnya mengulurkan bantuan materi.

Apa mau dikata kalau ternyata si kakek, ternyata pelakon yang handal. Terlepas si kakek memainkan lakonnya sendiri atau bekerja sama dengan orang lain (istri/anak-anaknya), lakonnya sudah mampu mendorong orang berpikir dan bertindak sampai mengeluarkan uang. Kenyataannya, si kakek beristri tujuh (pengakuan si kakek sendiri) memiliki lima anak dan bisa menghasilkan Rp. 500.000 perhari dari rasa simpati orang yang melihatnya menghibur anak-anak.

Salahkan si kakek? Entahlah. Tidak mudah mengatakan benar dan salah. Tidak ada orang yang salah karena berempati pada si kakek kala melihat tampilan fisiknya. Usia 70 tahun dan agak bungkuk. Sehingga terkesan ringkih. Usianya yang 70 membuat banyak orang berpikir, salut karena masih bisa dan mau bekerja. Jadi jika si kakek berhasil mengumpulkan Rp. 500.000 per hari bukan dari usahanya menghibur anak-anak tapi dari empati orang yang melihat fisiknya, buka menghargai upayanya menghibur anak-anak.

Adakah yang salah dengan si kakek? Jawaban tergantung hati nurani masing-masing. Yang pasti si kakek tidak meminta-minta. Jika ada orang yang mengulurkan/memberikan uang, si kakek tidak salah jika menerima. Salahkan yang memberi? tidak juga. Masa salah berbuat baik? Yang salah adalah ketika kepekaan rasa menutup hati nurani. Yang salah adalah mudahnya terpancing pada tampilan fisik.

Ketika orang membantu dengan cara yang benar (menghubungi Dinas Sosial), maka terjawablah siapa sesungguhnya si kakek penghibur anak-anak. Ada orang lain yang mengawasi aktifitas si kakek dari jauh (Entah istri/entah anak). Gemas dan marah, juga termasuk reaksi yang wajar, manakala, kita sadar sudah tertipu.

Saya jadi teringat obrolan dengan Dewan Kehormatan PWI, Kamsul Hasan. Menurut beliau, orang malas melakukan cek dan ricek. Termasuk malas membaca isi suatu berita/info. Baru membaca sebatas judul langsung klik tombol berbagi. Bahkan banyak pengguna media sosial yang tidak membaca isi berita/informasi yang dibagikan kebanyak orang. Judulnya mengundang rasa simpati, langsung klik bagikan. Belum ada hukum yang menjerat pelaku yang menyebarkan informasi keliru. Paling baru sebatas permintaan maaf.

Masih dari cerita Kamsul Hasan, beliau pernah di tag poster informasi Sebuah Rumah Sakit yang akan menyelenggarakan pengobatan gratis. Di poster lengkap dengan gambar dan informasi no kontak RS yang bersangkutan.  Kamsul menghubungi no kontak RS yang tertera di poster untuk mengecek kebenaran infomasi tersebut. Ternyata poster informasi bukan dikeluarkan oleh RS yang bersangkutan dan RS yang bersangkutan tidak mempunyai program pengobatan gratis. Kebayang nggak repotnya RS menghadapi masyarakat yang datang? Atau yang telepon? Jika RS tersebut mempunyai Tim Humas yang handal, mungkin bisa cepat di atasi. Jika tidak, maka RS akan menghadapi gangguan yang melelahkan bahkan menjengkelkan.  Masyarakat yang menaruh harapan pada pengobatan gratispun, turut dirugikan.

Kita tidak pernah terpikir ada motif kurang baik dari penyebaran info pegobatan gratis tadi karena isinya baik. Kalau setiap orang mau melakukan pengecekan, dampak buruk bisa diminimalkan. Contoh dari kasus poster pengobatan RS. Kan ada info no kontak. Jika no kontak tidak bisa kita hubungi, atau ternyata bukan no kontak RS, itu bisa menjadi pertanda info tidak perlu disebarkan. Siapa dan apa motivasi di balik penyebaran poster, kita tidak tahu. Mungkin saja persaingan bisnis. Dengan kita tidak menyebarluaskan info tersebut, kita turut andil meminimalkan dampak negatifnya.

Yuk, sedikit lebih peduli. Ada baiknya lakukan pengecekan sebelum menyebarkan link informasi. Apapun infonya, ada baiknya, baca dan pahami dengan baik. Menyebarkan link informasi yang mudah menimbulkan ketegangan antar sesama juga kurang bijak loh. Kepedulian kita, bisa menciptakan ketenangan dan kedamaian. Berempati tidak salah tapi akan menjadi salah jika kita tidak paham, alasan kita harus berempati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun