Chelsea Riansy berperan sebagai Sekar Palupi kecil
Jajang C Noor, berperan sebagai guru
Ence Bagus, berperan sebagai guru
Kholidi Asadil Alam Berperan sebagai Makelar Kambing
Diluncurkan berdekatan dengan peringatan Hari pendidikan Nasonal. Saya tidak tahu persis hal tersebut hanya kebetulan yang dipas-paskan atau memang bertujuan menyambut dan mensyukuri Hari Pendidikan Nasional. Beberapa kawan yang sudah lebih dulu menonton film ini, di media sosial menyarankan yang akan nonton untuk membawa tisue. Saya bukan orang yang mudah menangis kalau menonton film/sinetron atau membaca buku yang mengharu biru. Jadi ya, saya tidak merasa perlu membawa tisue secara khusus.
Bersama Komunitas #TDB-Tahu Dari Blogger, saya berkesempatan menonton di XXI Blok M Square, Kamis 5 Mei 2016. Film di buka saat Sekar Palupi yang diperankan Acha Septriasa memberikan pidato saat wisuda. Isi pidato menceritakan peran perempuan bernama Tupon dalam menanamkan keyakinan bahwasannya Tuhan itu ada dan akan membuka jalan bagi pendidikannya. Tupon itu ternyata, ibunya.
Lalu alur cerita berjalan maju mundur. Walau memperlihatkan kegiatan belajar dan mengajar dengan setingan sekolah tapi tidak memperlihatkan kegiatan sekolah Yang "hidup". Kegiatan sekolah dalam film seperti cuma tempelan. Jujur, selama menonton film ini, kepala saya terus membangun cerita sendiri. Semangat apa yang ingin diperlihatkan, kalau semua berjalan tanpa konflik. Emang konflik itu penting yah? Perjuangan baru dirasakan bermakna ketika mampu keluar dari konflik yang ada.
Saat Sekar lulus SMP, mengapa Sekar tidak mengajarkan ibunya mengenal huruf? Mengapa Sekar bersedia sekolah (kuliah) dan rela meninggalkan ibunya di desa? Jaman sekarang anak lulus SMA (Mahasiswa) sudah bisa mencari uang dan bisa dikirimkan ke orangtuanya untuk meringankan beban. Fim ini lompat jauh langsung ke Oxford University. Halooo emang nggak perlu runtut tapi kalau lompatannya terlampau jauh, ya membingungkan.
Sebetulnya pesan apa yang ingin disampaikan penulis atau sutradara? Satu-satunya nilai positif yang saya ambil dari film ini adalah Perjuangan ibu. Demi anak, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala dijalani. Kisahnya perjuangan ibu yang serupa dengan kisah Tupon sangat banyak. Tapi perjuangan si Ibu biasanya diikuti perjuangan si anak. Bukan ibu jadi keset kaki, asal anak tetap bersih. Nilai penghormatan pada Ibunya menjadi tidak bermakna, manakala Ijazah cuma bisa diletakan di kuburan.
Apalagi nilai yang dianut masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, mengajarkan bagaimana anak harus menghormati ibunya. Benar harus tegar tapi bukan harus tega. Benar ada harga yang harus dibayar tapi seharusnya film ini bisa lebih realistik. Termasuk basi banget, menggunakan pelajaran Ini Budi, Ini Ibu Budi. Penempatan waktu yang nggak pas. Kecuali cerita dibuat seting tahun 70 an.Â
Mengekploitasi kemiskinan tidak bisa dijadikan sebuah alasan, anak bersekolah hingga tidak berkomunikasi dengan ibunya. Benar pendidikan dalam arti sekolah menjadi salah satu cara keluar dari kemiskinanan. Tapi film ini tidak menunjukan hal itu. Bukan saya berharap berakhir happy ending, saya cuma berharap film ini bisa dikemas lebih menarik dengan membangun konflik dan tantangan yang sesuai jaman.