Mohon tunggu...
Elisa Koraag
Elisa Koraag Mohon Tunggu... Administrasi - Influencer

Saya ibu rumah tangga dengan dua anak. gemar memasak, menulis, membaca dan traveling. Blog saya dapat di intip di\r\nhttp://puisinyaicha.blogspot.com/\r\nhttp://www/elisakoraag.com/ \r\nhttp:www.pedas.blogdetik.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

(CFBD) Alm. Papaku Tukang Jahit

29 Agustus 2012   10:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:11 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Batik sudah menjadi salah satu warisan budaya, bahkan disyahkan UNESCO. Keluargaku mencintai batik sudah dari jaman dulu.  Memang batik ada dari dulu. Persoalannya kami bukan orang Jawa jadi bahan batik bukanlah sesuatu yang umum kami miliki. Di beberapa tulisanku yang lalu, aku sudah menceritakan kalau alm Papaku  purnawirawan TNI AD.

Papa yang masih muda dan gagah sebagai lulusan SSKAD Bandung (Sekarang SESKOAD) masuk tahanan akibat mendukung PRMESTA. Selama dalam tahanan rupanya para tentara termasuk Papa mendapat ketrampilan yang sangat jauh dari pekerjaan sebagai tentara/prajurit. Papa merndapat pelatihan ketrampilan membuat tas. Upaya  agar para tentara ini lupa menggunakan senjata. Sayang hasil karya Papa tidak kami simpan. Saat aku kecil aku selalu ingin tahu, mengapa mama sangat menyayangi tas yang berbentuk setengah lingkaran terbuat dari kayu dan bahan kain berwarna coklat dan berhiaskan sulaman bungan warna merah berdaun hijau. Tas itu tidak pernah dipakai bepergian. Hanya digunakan menyimpan surat-surat.

Ternyata tas itu hasil karya Papa di tahanan. Aku masih melihat tas tersebut sekitar tahun 80 an, setelah beberapa kali kami pindah rumah, tas itu tak terlihat lagi. Selain ketrampilan membuat tas, Papa juga mendapat pelajaran menjahit baju.

Pada foto di bawah, baju batik yang aku dan suadara-saudaraku pakai adalah hasil jahitan Papa

Di foto kami ber 8 dari 11 bersaudara yang semua perempuan. 3 kakakku saat itu remaja no 2,3 dan 4 bertugas membereskan rumah. Foto diambil saat Natal tahun 1973.  Usia foto sudah hampir 40 tahun. Di foto itu kakakku no 1 menggendong adikku yang kembar.  Di belakang nampak  tv  htam puith merk Sanyo 29 inchi. Model dengan tutup seperti kerei dan ada antena dalam.Aaku sudah tidak tahu dimana tv tersebut. Malum kami sudah lebih dari 4 kali pindah rumah, pastinya barang jadul  tidak dibawa. Termasuk  pemutar piringan yang jaman itu, semua warga diperumahan kami memuji sebagai peralatan “Wah”.

Karena Papa memiliki ketrampilan menjahit, hampir semua pakaian dan seragam sekolah kami dijahit si Papa. Dan itu berarti sama warna, sama model dan  sama bahan. Mungkin supaya gampang, kalau belanja cukup satu bahan dalam jumlah banyak.

Ketika kakak-kakaku rEmaja, mulailah protes kalau memakai baju disamakan dengan adik-adik yang masih kecil. Alhasil Papa membagi dua kategori. 4 Kakak akan memakai sama model lain warna sedangkan kami berlima memakai baju, sama warna, sama model dan sama bahan. Sedangkan si kembar memakai baju yang sama berdua, berbeda dari Kami berlima.

Menjelang Natal, kami mendapat baju baru minimal 4 buah tiap anak. Karena dua dipakai di rumah selama dua hari menerima tamu dan dua lagi dipakai ke gereja Natal hari pertama dan Natal hari ke dua.Untuk anak 11 ada 44 potong baju yang harus di jahit Papa selama sebulan. Dan itu dikerjakan malam hari sepulang  kerja. Biasanya papa akan menjahit mulai jam 10 malam hingga subuh. Makanya salah satu kenangan kami sekeluarga yang sulit dilupakan adalah alunan lagu yang di nyanyikan  Nat King Cole dan Frank Sinatra di tengah malam hingga subuh setiap hari. Setiap terbangun ditengah malam dan ingin minum atau buang air kecil, aku selalu tahu ada Papa yang masih terjaga. Baik sedang menjahit maupun tidak. Karena Papa punya kebiasaan berjaga hingga pagi menjelang.

Hingga aku SMA, rok sekolahku dijahit Papa. Tapi saat aku kelas 3 SMA, diam-diam aku minta ijin ke Mama agar boleh menjahitkan rok ke tukang jahit. Bukan karena jahitan Papa kurang bagus. Papa sangat disiplin, seragam kami akan dibuat sesuai aturan sekolah, padahal jaman itu aku juga ingin bergaya memakain rok dengan model yang sedikit berbeda dari ketentuan sekolah. Nakal dan melanggar tapi boleh kok. Sekolah tidak menegur kawan-kawanku yang memakai rok dengan model sedikit berbeda dengan ketentuan, salah satunya rok dibuat dengan kantong dan ada tempat ikat pinggangnya. Sehingga bisa bergaya dengan macam-macam warna ikat pinggang.

Dulu tidak harus berikat pinggang hitam seperti sekarang. Begitu pula dengan sepatu dan kaos kaki. Di sekolah negeri bebas, full colour. Sehingga aku dan kawan-kawan suka menyakan warna ikat pinggang dengan kaos kaki. Blouse putih- rok abu-abu dilengkapi ikat pinggang dan kaos kaki warna biru, saat itu kelihatannya keren .

Suatu pagi ketika akan berangkat seolah, seperti biasa kami harus pamit. Papa yang pensiunan tentara ini masih memperlakukan kami seperti prajurit. Sebelum berangkat seolah aku dan saudara-sudaraku akan berdiri dalam satu barisan dan papa akan memeriksa semua kelengkapan pakaian sekolah.  Dikemudian hari acara pemeriksaan ini terasa sama seperti adegan dalam film Sound Of The music saat Kapten Von Trap memeriksa anak-anaknya.

Papa akan memeriksa  mulai dari kancing baju sampai sepatu. Jangan harap bisa memakai baju dengan kancing lepas dan diganti peniti. Setelah proses pemeriksaan selesai baru kami boleh berangkat. Saat itu aku di colek dan papa berkata: “Jadi ini rok buatan tukang jahit? Kamu malu kalau papa yang menjahit ?” Tanya Papa. Aku tidak menjawab hanya masuk dalam pelukan Papa, menyembunyikan wajahku disana dan berkata “Kalau Papa yang jahit aku tidak bisa bergaya”. Papa menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan berkata: “Seragam adalah seragam, itu harga mati dan semua harus sama tapi kalau kamu mau berbeda dan membuatmu menjadi senang, Papa juga ikut senang”. Edan, jawaban Papa  membuatku harus mengatakan, He was a Great Man. Papa senang karena aku senang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun