"Perilaku tidak senonoh seperti apa," saya berusaha untuk meminta penjelasan lebih lanjut serta cerita yang lebih detail dan runut perilaku perilaku yang dilakukan putra saya bersama teman-teman sekelasnya yang membuat saya beserta wali murid lainnya harus dipanggil kesekolahan menjelang pertengahan semester akhir kelulusan Sekolah Dasar. Namun sang guru dan wali kelas berkeras bahwa putra saya beserta semua teman kekelasnya yang laki-laki sudah melakukan perbuatan yang mengarah ke hal-hal yang porno, dan meminta dalam pertemuan ini kami harus lebih ketat memperhatikan anak-anak kami, terutama dalam penggunaan ponsel dengan akses internet yang di tuding sebagai salah satu biang keladi perilaku penyimpang pada anak-anak.
Sikap saya yang mempertanyakan lebih lanjut serta meminta penjelasan secara detail tentang peristiwa tersebut bukan untuk meragukan pendapat dan pandangan guru-guru di sekolah, namun hanya ingin menyamakan persepsi serta untuk tahu lebih jelas perilaku tidak senonoh seperti apa yang telah mereka lakukan. Penjelasan inilah yang akan menjadi dasar pertimbangan serta referensi saya untuk menentukan sikap seperti apa ketika berhadapan lagi dengan anak saya di rumah. Namun sejujurnya saya cukup merasa shock dengan hal tersebut, ternyata anak yang saya kira masih kecil (berusia 10 tahun) sudah berkembang jauh di luar dugaan saya. Yang menyedihkan, kesadaran tersebut saya peroleh justru setelah melalui peristiwa tersebut, dan sama sekali bukan kesadaran yang timbul dari dalam diri saya.
Ternyata dunia sudah berubah, masa kanak-kanak dan remaja yang dahulu saya alami jauh berbeda dengan yang dialami anak saya sekarang. Saya sudah harus berdamai dengan diri saya bahwa sudah saatnya saya harus membicarakan masalah reproduksi dengan anak saya, meskipun sebagaimana lazimnya orangtua lainnya tentu merasa tidak nyaman untuk berbicara tentang hal yang masih dianggap "tabu" untuk dibicarakan secara terbuka, bahkan dalam keluarga sekalipun. Selain itu, kami juga tidak tahu harus memulai pokok bahasan dari mana dan membicarakan materi seperti apa kepada anak kami yang ternyata sudah mulai memasuki masa pra-remaja. Untuk alasan itulah mengapa saya membutuhkan informasi secara detail dan rinci tentang perilaku seperti apa yang dilakukan anak saya beserta teman-temannya di sekolah sehingga mendapat teguran cukup keras dari para guru.
Namun di sisi yang lain, kejadian ini merupakan peringatan diri bagi saya dan ayahnya selaku orangtua untuk mulai memikirkan bagaimana memberikan materi yang pas tentang masalah reproduksi dengan anak saya. Susahnya, ayahnya merasa belum nyaman untuk membicarakan masalah ini, padahal sebagai sesama laki-laki saya mengharapkan ayahnyalah yang akan menyampaikan materi tersebut kepada anak kami. Pada akhirnya saya mulai berpikir bahwa untuk merasa nyaman membicarakan masalah reproduksi ini dengan si anak, orangtua harus memiliki persiapan materi dan referensi yang cukup tentang kesehatan reproduksi di mana di dalamnya pastilah akan membahas masalah-masalah dan fungsi organ seksual.
Selain itu, tantangan terbesar kami justru berusaha untuk keluar dari lingkaran mitos yang selama ini mendominasi pemikiran dan anggapan masyarakat bahwa memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sama artinya dengan memberikan pendidikan seks. Padahal, kesehatan reproduksi memiliki wawasan dan cakupan wilayah pembahasan yang sangat luas, dan tidak semata-mata hanya membahas masalah seks dan organ reproduksi semata.
Ternyata tidak hanya masalah kecukupan materi yang akan membantu kami untuk merasa nyaman membicarakan masalah kesehatan reproduksi dan termasuk didalamnya pendidikan seks, kami juga harus membangun keterampilan komunikasi dan bahasa tubuh ketika menyampaikan masalah tersebut kepada si anak agar kami nyaman dan anak pun merasa tidak canggung ketika membicarakannya. Yah...si remaja juga harus di bangun mentalitasnya agar memiliki kepercayaan diri yang cukup dan nyaman berinteraksi dengan orangtuanya membicarakan masalah seks dan reproduksi. Tidak bisa tidak, karena di era di mana perkembangan teknologi dan perangkat digital yang serba cepat, tidak ada satu pun informasi yang tidak bisa di akses oleh para remaja.
Celakanya, tidak semua informasi dan konten yang berkaitan dengan reproduksi dan seks mengandung muatan yang mendidik bagi para remaja yang sedang mengalami pertumbuhan organ seksual sangat pesat. Mau tidak mau, keluarga harus menjadi pondasi utama dan pertama untuk membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental remaja. Namun, ternyata untuk menjalankan fungsi keluarga secara sehat, keluarga dan terutama orangtua harus dalam keadaan atau kondisi yang sehat mental.
Maksud dari sehat mental di sini berdasarkan definisi WHO adalah suatu keadaan sehat utuh secara fisik, mental, dan sosial dan bukan suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, atau kelemahan. Dengan kata lain, keluarga yang sehat mental adalah keluarga yang mampu menempatkan dirinya dengan baik di tengah masyarakat di mana masing-masing anggota keluarga memiliki perilaku dan mentalitas yang positif baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarga, dan untuk lingkungannya. Selain itu, tidak ada anggota keluarga yang memiliki perilaku menyimpan dari norma, nilai, dan budaya positif ketika hidup bermasyarakat.
Berdasarkan referensi dari WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Dengan demikian setidaknya ada 3 poin dari definisi yang dikemukakan oleh WHO ini yang sangat penting untuk dijadikan pegangan, yaitu fisik, mental, dan sosial. Di mana poin-poin inilah yang akan membantu dalam hal ini orangtua untuk memaksimalkan fungsi keluarga dalam masyarakat, di mana setidaknya ada 5 fungsi keluarga yang sangat penting demi melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan merupakan generasi emas. Adapun 5 fungsi tersebut adalah, fungsi biologis, fungsi pemeliharaan, fungsi keagamaan, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial.
Dengan menjalankan secara harmonis kelima fungsi ini, maka sudah pasti akan tercipta suatu keluarga yang mampu membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental para remaja. Tidak mudah memang, karena seperti halnya para remaja yang tumbuh berdasarkan pengalaman hidupnya bersama keluarga yang tinggal dengannya sejak kecil hingga dewasa kelak, orangtua pun juga merupakan produk dari masa lalu yang juga memiliki rekam jejak dan pengalaman tumbuh berkembang bersama keluarga di masa lalu. Untuk alasan itulah, penting juga bagi orangtua untuk mulai dari sekarang memikirkan bagaimana membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental dalam dirinya agar merasa nyaman membangun interaksi dan terutama komunikasi dengan si remaja kelak.Â
hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah terberat saya, apalagi di era di mana kompetitor-kompetitor yang menganggu usaha untuk membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental hampir tiap detik bermunculan, dan rasanya dibutuhkan sinergi dan peran serta dari pihak-pihak terkait untuk memperkuat hal ini, karena masa remaja adalah masa-masa di mana anak mulai mencari identitas pribadi di luar predikatnya sebagai anak dari orangtuanya. Â Setidaknya menurut saya dibutuhkan orangtua yang siap agar keluarga mampu membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental remaja :
- Siap secara fisik, di mana orangtua memiliki kesehatan tubuh yang prima untuk menjalankan fungsinya mengurus dan menafkahi keluarga, serta mencukupi kebutuhan pokok lainnya seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal. Orangtua yang sehat secara fisik tentu akan memiliki tenaga dan pikiran yang cukup dalam mendidik anggota keluarganya, serta memiliki kemampuan untuk mendeteksi perilaku menyimpang anggota keluarganya. Â Meskipun terkadang seringkali orangtua kecolongan, namun orangtua memiliki kemampuan untuk memperbaiki perilaku tersebut.Â
- Siap secara mental, di mana pada tahap ini orangtua sudah harus merasa nyaman dengan dirinya dan menyadari perannya saat ini sebagai orangtua yang bertugas mendidik dan membimbing anggota keluarganya. Kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang diembannya sebagai orangtua secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas kesehatan mentalnya, di mana orangtua akan tumbuh menjadi sosok yang memiliki mental yang sehat.Â
- Siap secara sosial. Ada begitu banyak nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang harus di patuhi agar tidak di cap berperilaku menyimpang dalam dalam masyarakat. Untuk itulah, orangtua harus telah memiliki kecakapan dalam berperilaku sosial untuk mewariskan dan mengajarkan nilai-nilai sosial tersebut kepada anggota keluarganya. Kecakapan sosial inilah yang kelak akan membantu si anak menghindari perilaku menyimpang atau tidak sesuai dengan standar kehidupan masyarakat. Tidak bisa tidak, kontrol sosial juga merupakan poin penting yang akan membantu menghindarkan anak dari perilaku menyimpang, atau kalaupun suatu kelak anak berperilaku menyimpan maka lingkungan akan membantu orangtua untuk mengirimkan sinyal deteksi dini atas perilaku menyimpang tersebut.