Mohon tunggu...
Queen Foniks
Queen Foniks Mohon Tunggu... Mahasiswa - Merdeka Menulis

"When we write, we clarify our understanding and deepen our learning." About: - Language; English and Spanish - Short Story - Poetry - Book Review - Self Improvement Book.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Refleksi di Depan Cermin

31 Desember 2024   21:55 Diperbarui: 31 Desember 2024   22:11 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: id.pinterest/Efil


Cermin itu, dingin dan bisu, memantulkan bayangan yang terasa asing. Ia mengusap permukaan berkabut dengan tangan yang sedikit gemetar, seolah berharap menemukan sosok lain di balik kaca. Tapi yang tampak hanyalah bayangannya sendiri: lingkaran gelap menghiasi matanya, rambut kusut yang jatuh tak beraturan, dan kerutan kecil di antara alis yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Wajah itu, dulu bersinar, kini dihiasi bintik merah kecil yang menceritakan cerita lain---cerita malam-malam panjang penuh pikiran dan ketakutan. Ia menatap lebih dekat, jarinya menyusuri lekuk wajah, berhenti di pipi yang terasa lebih kasar dari ingatannya. Setiap garis, setiap noda, seolah berbisik tentang hari-hari yang ia lalui dengan perasaan tak cukup baik. Bibirnya mencoba membentuk senyum, tetapi cermin itu tak berbohong. Senyum itu kosong, seperti jendela yang mengarah pada ruang hampa.

Rak buku di sebelahnya penuh dengan cerita yang belum tersentuh, mimpi-mimpi yang tertunda. Debu yang menumpuk di sana berbicara lebih keras daripada kata-kata: waktu berlalu, tapi ia tetap diam. Di sudut kamar, sepasang sepatu lari teronggok, seperti pengingat sunyi tentang ambisi yang pernah ia genggam, lalu dilepas perlahan tanpa alasan jelas.

Bunyi kembang api memecah keheningan, membuatnya menoleh. Ia berjalan menuju jendela, membiarkan dinginnya udara malam menyentuh kulitnya. Langit memancarkan warna-warna cerah, namun matanya tertuju pada refleksi samar dirinya di kaca jendela.

"Mungkin aku tidak harus sempurna," gumamnya pelan, hampir seperti doa. 

Jemarinya yang semula siap menarik tirai malah berhenti. Kali ini, ia membiarkan cahaya masuk, mengusir bayangan gelap yang menyelimuti hatinya.

Di atas meja, selembar kertas kosong menanti. Ia meraih pena dan mulai menulis, bukan daftar panjang resolusi seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya satu kalimat yang ia tuliskan: Aku akan mencintai diriku, dengan segala lebih dan kurangku.

Ada sesuatu yang berubah saat ia meletakkan pena. Bukan cerminnya, bukan kembang api di luar, tapi dirinya sendiri. Sorot matanya kini berbeda---tak lagi mencari kesempurnaan, tetapi keberanian untuk memulai.

Ia melangkah ke sudut kamar dan mengambil sepatu lari yang telah lama terlupakan. Tidak ada janji besar malam itu, hanya langkah kecil. Tapi di dalam dirinya, ia tahu, setiap perjalanan dimulai dari sini.


Hai, kamu yang membaca ini. Pernahkah kamu merasa seperti dia? Atau mungkin kamu sudah menerima dirimu apa adanya? Apapun kondisimu sekarang, satu hal yang pasti: waktu yang kita lalui adalah hadiah. Belajarlah untuk mencintai diri sendiri, bertumbuh dari hari ke hari, dan bersyukur atas tubuh dan jiwa yang setia bertahan meski badai datang.

Kamu luar biasa, karena Tuhanlah yang memberi kekuatan itu. Mari, kita melangkah bersama menuju hari-hari yang penuh makna. Jangan lupa, ucapkan terima kasih pada dirimu sendiri hari ini. Kamu pantas untuk dicintai---oleh dunia, dan oleh dirimu sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun