“Semua yang ada di dunia ini selalu berubah, satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri”
pemanasan global
Perubahan bisa berjalan menuju kemajuan maupun kemunduran. Saat saya belajar mengenai Seni dan Budaya di tingkat SMA, dikatakan bahwa perubahan terus terjadi karena manusia tidak akan pernah berhenti beraktivitas, ia terus mencipta. Adanya perubahan memang bisa menciptakan masalah sosial manakala perubahan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Begitu pula dengan perubahan iklim. Perubahan iklim menjadi dipertentangkan karena efeknya yang begitu besar dalam bidang kehidupan manusia. Menurut Canton (2006, hal. 204), perubahan iklim merupakan sesuatu yang pasti dan sudah terjadi hingga saat ini. Maka, masyarakat yang memegang kendali atas perubahan ini dan nantinya yang juga harus bertanggung jawab atas tindakannya.
Menurut Waluya (2007, hal. 22) masalah sosial merupakan proses terjadinya ketidaksesuaian antara unsur-unsur dalam kebudayaan suatu masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok-kelompok sosial. Dengan kata lain, masalah sosial menyebabkan terjadinya hambatan dalam pemenuhan kebutuhan warga masyarakat. Pada mulanya masyarakat mulai merasakan bahwa perubahan iklim yang mengacu pada pemanasan global sebagai suatu masalah sosial. Kemudian secara aspiratif mengkomunikasikan problem mereka melalui gerakan sosial dengan mengajukan beberapa tuntutan yang harapannya dapat dipenuhi oleh pemegang otoritas.
Perubahan alam atau lingkungan memiliki pengaruh yang besar, bahkan itu disebut sebagai malapetaka dalam doa-doa kita. Pemanasan global dianggap sebagai masalah sosial oleh para sarjana sosial yang banyak melakukan penelitian sosial untuk menunjukkan bagaimana tekanan sosial politik mengonstruksi pemanasan global sebagai masalah sosial yang ‘sah’ membutuhkan aksi perbaikan. Pemanasan global memang harus segera diatasi dan ditangani dengan baik melalui kebijakan yang berbasis lingkungan. Artinya, tidak boleh ada kepentingan politik yang bermain dalam isu-isu lingkungan.
Masyarakat sering kebobolan dari ulah para pembuat kebijakan dan segala intrik-intriknya yang ‘mengorbankan’ kekayaan alam Indonesia untuk dieksploitasi habis-habisan. Kita berkaca saja pada kasus yang sudah-sudah, seperti yang terjadi pada kebijakan agraria PT Freeport yang terus-menerus diperpanjang dari tahun 1967 hingga tahun 2041. Kekayaan alam kita diambil habis, sedangkan Indonesia khususnya masyarakat Papua hanya menerima sedikit kemanfaatan. Keberadaan Freeport pun tidak membawa kesejahteraan bagi Indonesia. Bahkan dengar punya dengar, teman saya menceritakan mengenai perkataan dosen mata kuliah Sosiologi Bencana-nya bahwa apabila Freeport dimiliki sepenuhnya oleh Indonesia, maka kemungkinan besar Indonesia bisa melunasi hutang-hutang luar negerinya.
Begitu pula yang terjadi pada kebijakan-kebijakan lain, seperti plastik berbayar, kenaikan tarif pajak reklame, dan lain sebagainya. Kebijakan ekologis seharusnya tidak diselubungi dengan kepentingan tertentu. Artinya, kebijakan yang dibuat benar-benar terpadu, menyeluruh, serta tidak gegabah sehingga dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.
Pemanasan Global Tak Lagi dalam Awang-Awang
Pemanasan global menurut Susilowarno et al (2007, hal. 297) disebabkan oleh meningkatnya kadar CO2 di atmosfer karena pembakaran bahan bakar fosil yang meningkat di atmosfer dan menurunnya luas hutan sehingga keseimbangan siklus karbon (fotosintesis dan respirasi) terganggu. Kadar CO2 tersebut bergabung dengan gas metan, nitrogen oksida, dan uap air menahan panas matahari yang seharusnya dipantulkan kembali oleh bumi. Panas matahari yang terjebak dalam bentuk gelombang pendek di atmosfer tersebut mengakibatkan temperatur atmosfer bumi meningkat ± 3,5˚ C.
Bukti-bukti pemanasan global nyata kita rasakan selama beberapa tahun masa kehidupan kita. Suhu di Jogja beberapa tahun silam tidak sama dengan suhu saat ini. Begitu pula kita rasakan pada dampak-dampak yang muncul ketika suhu bumi memanas. Ketika suhu bumi memanas, maka es di kutub akan meleleh sehingga menimbulkan perubahan yang menuntut gaya adaptasi baru−baik oleh manusia, hewan, maupun tumbuhan. Mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri akan punah karena ketidakmampuan mempertahankan eksistensinya. Selain itu, kadar air laut yang semakin meningkat mungkin saja akan menenggelamkan daratan perlahan-lahan.
Kegentingan pemanasan global semakin kasat mata, menyentuh kulit, dan bahkan memengaruhi kehidupan kita. National Academy of Sciences (dalam Canton, 2006, hal. 206) mengungkapkan bahwa temperatur bumi mengalami pemanasan sebesar 1˚ Fahrenheit selama satu abad terakhir dan rata-rata pemanasan melonjak pada dua puluh tahun terakhir. Hanya ada satu alasan paling masuk akal mengapa pemanasan tersebut terjadi: perbuatan manusia. Kita telah membuat polusi langit dengan gas-gas rumah kaca−terutama karbondioksida, metan dan nitro oksida, yang dikeluarkan cerobong pabrik, knalpot mobil, dan sumber-sumber lain. Dengan begitu, harapannya manusia bisa semakin sadar, bangun dari buaian kemudahan dan kecanggihan teknologi, produk-produk kecantikan yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan industri dan manufaktur.