Environmentalism dan Perkembangannya
      Eder (1996), seorang akademis, menyebutkan tiga fase transformasi dari ideologi lingkungan. Pertama adalah fase di mana terdapat ketidakcocokan antara ekologi dan ekonomi yang ditandai dengan masalah lingkungan. Kedua, pendekatan peraturan mendominasi aksi dan wacana lingkungan. Ketiga, muncul pada pertengahan tahun 1990, bahwa normalisasi budaya dari fokus mereka akan lingkungan dan integrasi mereka dengan pola dimunculkan oleh pemikiran ideologis (Buhr & Reiter, n.d., hal. 3).
      Kepentingan ekonomi memicu para korporat bertindak serakah dengan mengeksploitasi alam di luar batas kewajaran. Kepentingan ekonomi dan ilmu alam dirasa akan selalu memiliki tujuan yang bertolak belakang. Seiring dengan berjalannya waktu, protes masyarakat mulai bermunculan. Mereka mengkritisi korporat yang bertindak sewenang-wenang terhadap alam. Dalam protesnya, masyarakat mengusulkan peraturan agar korporasi yang ada dapat bersaing secara sehat dengan tidak merusak alam.
      Sedangkan fase terakhir menjelaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan niat perubahan pada korporasi bisnis, dibantu peran pemerintah, dan masyarakat. Kepedulian tersebut harus terlihat dalam pemikiran dan tingkah laku mereka. Bagaimana sebuah perusahaan kayu mengambil SDA secukupnya dan dengan teknik yang benar, misalnya dengan cara tebang pilih. Contoh lain misalnya pada perusahaan peleburan besi dan baja yang memberikan dampak pada polusi udara juga perlu diupayakan untuk menekan pencemaran udara.
      Eder mendefinisikan ideologi lingkungan sebagai titik balik dari evolusi budaya akan modernitas sejauh itu membuktikan sebuah orientasi budaya baru dengan menggantikan ekologi untuk industrialisme sebagai model budaya dasar dari modernisasi. Selain itu, ekologi mengubah sifat politik dengan menciptakan politik alam (the politics of nature) (Buhr & Reiter, n.d., hal. 3). Di sini lingkungan dianggap perlu diperlakukan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam kegiatan industrialisme. Alam dijaga dan diatur pemanfaatannya dengan bantuan kebijakan atau regulasi politik yang dibuat pemerintah.
      Sejak lingkungan menjadi fokus dari wacana protes, berbagai kelompok kepentingan muncul dengan berbagai sudut pandang dalam komunikasi lingkungan. Komunikasi mengenai ilmu alam menjadi sebuah perantara antara konflik politik dan debat politik yang mengubah budaya politik masyarakat modern (Buhr & Reiter, n.d, hal. 4). Organisasi bisnis mendapatkan perhatian dari publik. Publik mengawasi gerak-gerik organisasi sehingga mereka harus terus berusaha menanamkan image yang positif, atau yang disebut identitas hijau (green identity). Ideologi lingkungan membentuk sebuah masyarakat modern yang menuntut korporasi dan bisnis untuk memberikan sumbang sih yang positif terhadap alam dan turut membantu pembangunan yang berkelanjutan.
Â
Filosofi Lingkungan Menuntun Persepsi Masyarakat
      Filosofi lingkungan mengadopsi dua pendekatan, yaitu pandangan antroposentris dan ekosentris. Antroposentris adalah pendirian kapitalis murni dan kaum bijaksana yang berkaitan dengan ekonomi neo-klasik yang berteori tentang sebuah kerangka utilitarian yang sedikit dipahami sebagai kepentingan pribadi yang rasional. Hak individu harus didahului dari kepentingan kelompok. Sedangkan ekosentris pergerakan ekologiwan sosial dan sosialis yang menempatkan manusia dalam konteks alam dan menawarkan kritik pada setiap bentuk dominasi, khususnya dalam sebuah negara, pada bentuk-bentuk kekuatan ekonomi, otoritarianisme, ideologi represif, dan mesin teknologi (Buhr & Reither, n.d, hal. 6). Intinya ekosentris berpusat pada
      Gray (1996 dalam Buhr & Reiter) merumuskan beberapa klasifikasi yang muncul dari dua pandangan tersebut untuk menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok dalam masyarakat mempertimbangkan hubungan antara organisasi dengan masyarakat, diantaranya: kapitalis murni, kaum bijaksana, pendukung kontrak sosial, ekologiwan sosial, sosialis, feminis radikal, dan ekologiwan mendalam (Buhr & Reither, n.d, hal. 4). Pandangan mereka digunakan sebagai kerangka dalam menilai dan mempertimbangkan korporasi-korporasi yang ada.
      Kapitalis murni adalah pandangan dominan dalam hal akuntansi dan keuangan yang merujuk pada tanggung jawab korporasi untuk menghasilkan uang pada pemegang saham. Orientasi semacam ini mungkin hanya terpatok pada uang semata dan akan berujung pada eksploitasi alam. Kelompok kaum bijaksana memandang bahwa kesejahteraan dan stabilitas ekonomi hanya dapat dicapai dengan persetujuan dan tanggung jawab sosial. Dengan begitu terjadi kesepakatan dalam hubungan alam dengan masyarakat. Pendukung kontrak sosial adalah perilaku perusahaan yang juga diinginkan oleh masyarakat−sehingga ada tanggung jawab untuk menghargai dan merespon keinginan masyarakat.