Selalu ada dua aspek yang beredar dari mulut ke mulut (word of mouth) mengenai ketidakpuasan hijau: protes selalu terfokus pada rencana kebijakan yang malah membebani lingkungan dan pada bagaimana cara pembuatan suatu kebijakan. Limbah hasil industri rumahan maupun manufaktur dianggap menimbulkan polusi lingkungan. Masyarakat dan ahli lingkungan banyak mengajukan keberatan akan kebijakan yang dibuat terutama karena ketiadaan partisipasi publik.
Konkritnya dapat kita lihat pada protes masyarakat pada masalah-masalah, seperti globalisasi, pembangunan hotel dan atau mall, pembangunan bandara, dan masih banyak lagi. Kebijakan seringkali dibuat tanpa musyawarah dengan warga sehingga hasilnya seringkali bersifat parsial dan sarat akan kepentingan tertentu. Ketika pertumbuhan pembangunan mall, hotel, bandara, perusahaan franchise semakin marak, masyarakat juga yang akan terdampak−mungkin dari limbah industri, air bersih semakin asat, perilaku konsumtif, dan lain sebagainya. Kalau sudah begini, izin pemerintah dinilai tidak berpihak pada masyarakat, namun justru mempersilakan sebebas-bebasnya para penanam modal berinvestasi membangun proyek.
     Â
Ketidakpuasan Hijau: Konten, Organisasi, dan EIA Belum Cukup
Ketidakpuasan hijau mengkritisi sistem kapitalis dan peran negara dalam ‘melanggengkan’ ketidakberimbangan porsi masyarakat dalam berpartisipasi. Permintaan masyarakat akan politisasi institusi, demokratisasi negara, dan kebebasan kelompok penekan dianggap sebagai argumen radikal yang dapat membangkitkan partisipasi dari segala lini. Tahun 1970 menjadi saksi sejarah terjadinya radikalisasi politik yang menuntun pada gejala pengurangan legitimasi lembaga-lembaga tradisional, seperti universitas, politik, gerakan serikat perdagangan, dsb. Gerakan kontra muncul untuk menantang struktur yang lebih partisipatoris, terutama partisipasi politik dari masyarakat dan kelompok sosial.
Masyarakat dalam negara demokratis sekarang semakin membiasakan diri pada hak untuk memilih, hak akan petisi, hak referendum dan hak sebagai partai yang tidak memihak, sebagai seorang warga negara, untuk mengatakan keberatan akan rencana pemerintah (Leroy & Tatenhove dalam Driessen & Glasbergen, 2002, hal. 164). Ini semua mewarnai proses pengimplementasian suatu kebijakan. Dalam prosesnya mungkin saja kelompok ‘nonpemerintah’ mencetuskan kebijakan baru yang dianggap lebih baik. Partisipasi sebenarnya tidak melulu berasal dari anggota suatu negara. Sejatinya, partisipasi menekankan pada sumbang sih berupa saran yang dapat membantu dalam penerapan kebijakan, sehingga partisipasi bisa berasal dari manapun.
Tuntutan akan partisipasi politik bervariasi dilihat dari derajat keradikalannya, seperti permintaan untuk membuat inovasi−baik dari segi konten maupun organisasi pada bentuk demokrasi perwakilan kala itu−dengan argumen demi menghasilkan kebijakan yang lebih  demokratis. Kesadaran tersebut muncul dalam rangka memberi resolusi terkait masalah lingkungan. Inovasi menekankan pada perombakan lembaga negara agar lebih membuka partisipasi bagi masyarakat.
Ini pernah terjadi di Indonesia pada sistem perwakilan (demokrasi representatif) melalui lembaga-lembaga negara, seperti DPR, DPD, dan MPR dalam pengambilan keputusan dan kelangsungan pemilu. Sistem seperti ini dianggap tidak terbuka sehingga memungkinkan praktik penyelewengan semakin masif dilakukan. Keputusan dihasilkan atas diskusi dan kompromi para elit politik, sedangkan masyarakat hanya menonton saja (baca: pasif). Ini semakin memperkokoh sekat pemisah antara negara dengan masyarakat. Indonesia sebagai negara demokratis tentunya perlu mempertimbangkan opini publik di masyarakat dalam membuat suatu kebijakan. Akhirnya, sistem perwakilan pun diganti menjadi sistem langsung.
      Â
Partisipasi Ditegakkan dan Dilembagakan
Konflik lingkungan terkait pencemaran air dan udara, terutama yang berasal dari industri, insiden lingkungan, pembentukan bisnis baru, perluasan atau pembangunan baru infrastruktur merupakan hal yang tak jarang kita jumpai. Menanggapi permasalahan lingkungan selalu ada dua aspek ketidakpuasan hijau; 1) protes dari kalangan masyarakat, warga setempat, dan kemunculan gerakan lingkungan, dan 2) muncul gerakan kontra yang selalu meremehkan dampak lingkungan (Driessen & Glasbergen, 2002, hal. 165). Kekecewaan muncul karena masalah berakhir dengan proses pengambilan keputusan yang tidak demokratis.