Setiap negara tentu menghendaki pembangunan lingkungan yang dilakukan secara berkelanjutan−bukan sekadar formalitas. Pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting yang didiskusikan dalam agenda kebijakan di banyak negara, salah satunya yang terjadi di Belanda. Pemerintah Belanda menganggap bahwa pendekatan Pendidikan Lingkungan (Environtmental Education/EE) dan Pembelajaran untuk Pembangunan Berkelanjutan (Learning for Sustainable Development/LSD) merupakan instrumen kebijakan yang cukup komunikatif untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan di masyarakat.
Untuk itu, Netherlands Environmental Assessment Agency (MNP) menguji efektivitasnya. Hasilnya, mereka mempertanyakan beberapa aspek dari EE, antara lain; 1) kontribusi pendidikan terhadap keberlanjutan yang konkret di masyarakat, 2) cara agar pembuat kebijakan EE dapat menjadi lebih kompeten dan efektif dalam menggerakkan masyarakat, dan 3) peran pengetahuan itu sendiri. Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya apabila kita mengenal lebih dulu masing-masing pendekatan.
Mengenal Berbagai Perspektif Pendidikan Lingkungan: Instrumental, Emansipatoris, dan Gabungan Keduanya
Instrumental di sini perlu dipahami sebagai langkah untuk mengubah perilaku masyarakat, dengan tujuan memberi pertolongan terhadap lingkungan. Pendidikan instrumental berambisi ingin membentuk perilaku yang mana tujuan tersebut sudah diketahui, bahkan disepakati, dan telah dirancang sedemikian rupa. Pendekatan instrumental EE dimulai dengan merumuskan perilaku yang seharusnya (baca: baik). Masyarakat sebagai target sasaran dipandang sebagai obyek pasif, sehingga aktivitas komunikasi sekecil apapun akan berdampak padanya. Meskipun begitu, keberhasilan perubahan perilaku tergantung pada bagaimana pra-analisis seseorang terhadap isu dan kondisi-kondisi yang melingkupinya, seperti kesadaran akan masalah, evaluasi kognitif, respon afektif, norma sosial yang dibawanya, kontrol diri, dan lain sebagainya.
Pendidikan dan strategi komunikasi untuk perubahan perilaku warga terhadap lingkungan didukung di banyak negara melalui bentuk-bentuk, seperti kampanye, Iklan Layanan Masyarakat, pelabelan dan sertifikasi lingkungan, serta program pendidikan lingkungan dan kegiatan lain yang dapat ‘memanggil’ perubahan perilaku (Wals & Eijff, 2008, hal. 56). Para pendukung pendekatan instrumental terus menerus mencari hasil perubahan perilaku yang terukur, hingga akhirnya dapat memicu aksi terhadap lingkungan yang semakin efektif.
Meskipun begitu, penerapan pendekatan instrumental pada pendidikan lingkungan juga menuai kritik. Kritik berkutat pada argumen bahwa penggunaan pendidikan dalam rangka mengubah perilaku masyarakat pada kondisi pra-perubahan dan arah yang dirancang sedemikian rupa oleh para ahli merupakan bentuk manipulasi dan indoktrinasi pada pendidikan. Namun, para pendukung pendekatan ini membela diri bahwa segala cara adalah sah karena masalah lingkungan menyangkut masa depan bumi. Di Belanda, kelompok pendukung bergerak dari mereka yang bekerja dalam ranah pertanian, penggunaan lahan, konservasi alam, keamanan pangan, dan lain sebagainya. Sedangkan kelompok kritikus muncul dari Kementerian Pendidikan.
Selanjutnya, pendekatan emansipatoris berbeda dari pendekatan instrumental, pendekatan ini mencoba untuk melibatkan warga dalam dialog aktif untuk membangun tujuan yang dimiliki, makna bersama, aksi dari rencana pribadi untuk melakukan perubahan mereka sendiri dengan mempertimbangkan harapan pemerintah terhadap masyarakatnya, akhirnya, berkontribusi untuk menciptakan masyarakat yang lebih berkelanjutan secara menyeluruh (Wals & Jickling, 2002 dalam Wals & Eijff, 2008, hal. 57). Perbedaannya jelas terlihat, pendekatan ini tidak menciptakan suatu tujuan khusus terlebih dahulu. Proses belajar sosial dilakukan dengan metode partisipatif yang memungkinkan setiap individu secara aktif mencari perbaikan situasi.
The Dutch Memorandum on Learning for Sustainable Development (dalam Wals & Eijff, 2008, hal. 57) secara khusus mengidentifikasi pembelajaran sosial sebagai kunci titik fokus. Dalam memorandum itu dinyatakan bahwa “pengaturan belajar” perlu didukung oleh para pemangku kepentingan, warga, dan organisasi yang dikumpulkan bersama dalam situasi konkret, dan dirangsang untuk terlibat satu sama lain dalam proses pembelajaran kolektif. Artinya, pendekatan ini menekankan pada pengembangan kapasitas, lembaga, dan mendukung tersedianya ruang yang memungkinkan terjadinya aktivitas pembelajaran sosial. Pendekatan ini biasanya digunakan pada masalah yang belum diketahui solusi pemecahannya sama sekali.
Para pendukung pendekatan emansipatoris berpendapat bahwa jatuhnya, pendekatan ini layaknya pendekatan pemecahan masalah. Padahal, transisi menuju dunia yang lebih berkelanjutan membutuhkan upaya yang lebih dari sekadar mengelola dan memecahkan masalah, melainkan sampai pada pemikiran yang lebih sistemik dan refleksif hingga mampu bertindak dengan kesadaran bahwa bumi akan berubah, penuh dengan ketidakpastian. Sedangkan kritik terhadap pendekatan ini menyoal mengenai masyarakat yang sudah cerdas dan paham mengenai mana yang berkelanjutan dan mana yang tidak sehingga pemecahan masalah dirasa kurang mendalam.
Selanjutnya adalah gabungan edukasi lingkungan, komunikasi, dan partisipasi. Sosiolog lingkungan Belanda Gert Spaargaren (dalam Wals & Eijff, 2008, hal. 58) membuat sebuah model yang menghubungkan orientasi aktor dan orientasi pendekatan pemenuhan struktur. Spaargaren melakukannya dengan menempatkan praktik-praktik sosial sebagai pusat di mana lembaga masyarakat dimediasi oleh gaya hidup untuk dapat berinteraksi dengan struktur yang ada. Masyarakat membutuhkan kebutuhan hidup dan struktur pemerintahan menyediakan sistem berupa syarat dan ketentuan.
Gaya hidup yang dimaksud di sini menyangkut penggunaan teknologi sebagai sarana komunikasi yang mendekatkan keduanya, juga kebutuhan sandang, pangan, papan, piknik, olahraga, dan lain sebagainya. Interaksi antara lembaga dan struktur tersebut yang Spaargaren sebut sebagai praktik sosial. Pendekatan ini menekankan partisipasi aktif masyarakat terhadap pemerintahan. Meskipun begitu, keputusan tetap berada di tangan pemerintah selaku pemegang otoritas.
Menelaah Perspektif Melalui Kasus Konkret
Berdasarkan perbedaan yang ditekankan pada masing-masing pendekatan tersebut, MNP menyimpulkan bahwa pembuat kebijakan terjebak antara dua peran; sebagai instrumental (tujuan: perubahan perilaku) atau emansipatoris (tujuan: pembangunan manusia). Karena itu, mereka menyarankan adanya penelitian lanjutan dalam rangka mengklasifikasikan pendekatan EE, mana yang menjurus ke instrumental, emansipatoris, maupun gabungan keduanya. Penelitian lanjutan dilakukan dengan metodologi studi kasus yang memungkinkan kita untuk belajar dari contoh kompleks melalui deskripsi dan analisis kontekstual.
Kampanye Adopsi Ayam merupakan salah satu kasus dari kebijakan lingkungan yang benar-benar instrumental. Kampanye ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap pertanian unggas organik dengan jalan mengadopsi ayam. Sebagai imbalannya, pengadopsi akan menerima token telur yang didapat dari perdagangan eco-eggs di toko organik. Mereka juga diberikan akses menggunakan website yang informatif dan menghibur, juga dapat membawa serta keluarga mereka berkunjung ke pertanian organik. Terbukti data (dalam Wals & Eijff, 2008, hal. 60) pada tahun 2003 lebih dari 75.000 warga Belanda mengadopsi ayam, mau memasuki toko makanan organik, dan konsumsi makanan organik di Belanda naik 10% pada tahun 2010. Ini merupakan siasat agar masyarakat mau mengunjungi toko makanan organik hingga akhirnya tujuan pemerintah untuk meningkatkan pangsa pasar konsumsi makanan organik dapat terwujud.
Lain kasus dengan proyek Penciptaan Daerah Kota yang Berkelanjutan yang dilakukan di kota Rotterdam dan The Hague. Dengan menggunakan pendekatan yang lebih emansipatoris, proyek tersebut bertujuan untuk mencapai keberlanjutan yang lebih besar dan meningkatkan kualitas hidup di daerah perkotaan. Cara yang dilakukan adalah dengan konsultasi pada masyarakat dan pemangku kepentingan. Motto mereka adalah live-ability, harapannya berbagai kegiatan yang mendukung keberlanjutan daerah dapat terus dikembangkan, diimplementasikan, dan ditindaklanjuti. Kesuksesan proyek memang sangat bergantung pada persepsi, gaya hidup, dan kepentingan warganya hingga mereka bersedia ambil peran. Oleh karena itu, pendekatan ini sangat menekankan pada penciptaan kepercayaan, transparansi, dan janji hasil jangka pendek oleh aktor komunikasi.
Kasus konkret yang menggabungkan kedua pendekatan, baik untuk mengubah perilaku maupun pembangunan manusia, yakni yang terjadi pada asosiasi Den Haneker dan cerita tentang Heuvelrug Region. Asosiasi Den Haneker melalui pendidikan lingkungan berusaha mengatur kursus, situs web, penawaran brosur, video, majalah, buku, dan kursus dengan tujuan konservasi dan pengelolaan pemandangan alam di daerah pertanian. Asosiasi Den Haneker pun sukses memengaruhi keputusan perencanaan penggunaan lahan pedesaan karena didukung oleh masyarakat yang proaktif, menarik perhatian masyarakat sipil, kelompok petani, dan komunitas bisnis, dukungan dari para anggota asosiasi, dan anggotanya yang dikuatkan dengan bekal informasi yang dimiliki.
Sama halnya dengan proyek Heuvelrug Region yang ingin membangun jembatan layang yang menghubungkan wilayah berbukit di Utrechtse Heuvelrug, Belanda. Dalam melakukan de-fragmentasi (keterhubungan wilayah) dibutuhkan kesadaran, kolaborasi, dan dukungan dari berbagai pihak, dari relawan, pejabat administrasi, pelajar, hingga pengunjung rekreasi Utrechtse Heuvelrug. Proyek ini juga melakukan kursus, kunjungan lapangan, materi pendidikan, booklet, dan simposium. Pemerintah lokal dan regional (struktur) dan relawan (aktor) juga aktif menjelaskan pentingnya de-fragmentasi untuk konservasi alam. Intinya, kedua kasus tersebut menunjukkan adanya upaya dilakukan dari dua arah, aktor dan struktur. Selain itu, adanya implementasi pendidikan, partisipasi, dan aktivitas komunikasi dalam dua kasus tersebut.
Penelitian Lanjutan Menjawab Tiga Aspek Pendidikan Lingkungan
Pembuat kebijakan pendidikan lingkungan memang terjebak dalam peran ganda, namun masing-masing perspektif telah memberikan kontribusi yang berarti. Dua pendekatan yang ekstrem−instrumental dan emansipatoris−dapat memperkuat masing-masing makna. Pendekatan instrumental membantu meningkatkan pengetahuan tentang kesadaran akan suatu kasus, terkhusus masalah ekologi. Sedangkan pendekatan emansipatoris bertujuan untuk perubahan jangka panjang yang berhubungan dengan pentingnya dukungan publik, keterikatan, dan keterlibatan (Wals & Eijff, 2008, hal. 61). Suatu masalah dapat terselesaikan dengan pendekatan yang sesuai, sehingga tujuan untuk mencapai dunia yang berkelanjutan dapat terealisasi dengan efektif. Oleh karena itu, mengenali pendekatan yang ada adalah baik sebelum kita mengupas suatu masalah.
Menyoal mengenai kompetensi dan efektivitas pembuat kebijakan, bagaimanapun pendekatan instrumental dan emansipatoris dapat memperkuat satu sama lain dilihat dari perspektif kebijakan. Namun, keduanya mungkin bertentangan bila dilihat dari perspektif pendidikan (Wals & Eijff, 2008, hal. 62). Dalam hal ini perlu dipertimbangkan mengenai otoritas pemerintah dan tantangan perubahannya−misalnya perubahan apa yang sejatinya kita inginkan. Dalam menentukan pendekatan mana yang tepat, perlu dipertimbangkan yang paling cocok dengan strategi pengawasan (monitoring) dan evaluasi (evaluation) atau yang dikenal dengan strategi M&E. Dan, strategi M&E ini dirasa paling sesuai dengan pendekatan emansipatoris.
Pertanyaan mengenai peran pengetahuan itu sendiri telah dijawab (Wals & Eijff, 2008, hal. 64), pada pendekatan instrumental jelas pengetahuan bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi peningkatan kesadaran dan proses perubahan perilaku, tetapi itu tetap dianggap penting. Pendekatan instrumental mendekati fokus pengetahuan terletak pada transfer yang eksplisit dan relatif tak terbantahkan. Sedangkan pada pendekatan emansipatoris, peran pengetahuan adalah sebagai fasilitator dilaksanakannya penyebarluasan pengetahuan secara implisit, dapat memunculkan pengetahuan baru, dan dapat menyepakati makna bersama. Peran pengetahuan memang lebih kentara pada pendekatan emansipatoris. Biar bagaimanapun, pengetahuan tetap membantu pencapaian fokus tujuan masing-masing pendekatan−perubahan perilaku maupun pembangunan manusia.
Daftar Pustaka:
Wals, A. E. J. & Eijff, F. G. (2008). All mixed up? instrumental and emancipatory learning toward a more sustainable world: considerations for EE policymakers. Applied Environmental Education and Communication, 7, 55–65.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H