Oleh Elisabet Riski Titasari
hari ini, pukul tiga pagi kira-kira
seperti biasa otakku sibuk menerka-nerka
bukan siapa-siapa yang selalu kurindukan, kamu
lalu merangkai serpihan-serpihan kenangan tempo dulu
mengirim pada hatiku tentang rasa yang tak pernah pudar
meski bertemu sangatlah sukar
waktu yang semakin renta
tak jua membuat rasa berbeda
kau yang datang tanpa permisi
ternyata malah jadi candu yang bikin halusinasi
seperti rona lazuardi yang menghipnotis sejuta mata memandang
tatapmu selalu membuat jantung berdegup kencang
hingga aroma keringatmu yang lekat dalam indra penciumanku
seolah tak mau lepas dan terus membekas meski tak bertemu
di hari menjelang pagi
mencoba menenangkan hati
perlahan-lahan memejamkan mata
ditemani musik instrumen biola
namun mendadak hati gelisah
padahal raga sudah cukup lelah
mencoba untuk masuk ke alam mimpi yang kudambakan
melepas penat dalam tidur nyenyak yang kuharapkan
tapi aku tak mampu
mengistirahatkan sejenak lelahku
sementara bayangmu terus berlari-lari dalam sanubari
dan mengajakku larut dalam ilusi
seperti inikah kejamnya rindu?
ia telah mengancam kewarasanku
dan menjelma menjadi benalu
menggerogoti segala yang ada dalam pikiranku
hanya menyisakan satu, kamu
wahai semesta yang baik hati
aku merayu untuk kesekian kali
izinkan rindu pulang dalam pelukannya
biar hati sedikit lega dan tak ada lagi tanya
sebab benak sudah mulai muak
mengikuti hati yang terus memberontak
sambil kugenggam rapat-rapat rindu yang tak berujung
dan berharap barangkali mimpi tempat tuk berkunjung
(28/06/2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H