"Bayangkan Anda kelaparan setelah seharian belajar dengan giat dan sebagai self-reward, Anda ingin memesan makanan viral seperti cokelat Dubai di salah satu marketplace populer. Harga produknya lebih murah daripada di toko, pengiriman cepat, dan penjual juga ramah. Semua serba instan dan praktis, bukan? Tapi, pernahkah Anda bertanya terkait apakah penjual tersebut melaporkan penghasilannya kepada negara?
Jika tidak pernah, tak masalah. Karena fenomena tersebut merupakan salah satu contoh shadow economy. Dalam era digitalisasi seperti sekarang, fenomena ini berkembang pesat sehingga menjadi salah satu tantangan besar bagi penerimaan pajak negara."
Perkembangan Teknologi: Pedang Bermata Dua dalam Shadow Economy
Perkembangan teknologi memang memberikan kemudahan bagi kita dalam melakukan transaksi online. Namun, perkembangan tersebut juga berpotensi memunculkan fenomena shadow economy.  Shadow Economy sendiri merupakan istilah yang merujuk pada aktivitas ekonomi yang tersembunyi dan tidak terdeteksi otoritas pajak. Fenomena ini tentu merugikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam wewenang pengumpulan penerimaan negara. Shadow economy memunculkan informasi asimetris antara DJP dan wajib pajak yang menyebabkan beberapa pelaku ekonomi tidak menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar. Contoh nyata shadow economy meliputi perdagangan melalui media sosial, marketing influencer, transaksi cryptocurrency, dan hal-hal lain yang sering kali tidak tercatat secara formal. Dalam artikel "Apa itu Shadow Economy dan potensinya?" yang diterbitkan oleh Kompas.id, disebutkan bahwa persentase shadow economy dapat mencakup hingga 18,9% dari PDB Indonesia. Angka tersebut menunjukkan bahwa masih banyak wajib pajak potensial yang belum terdaftar atau tidak patuh. Minimnya sistem pengawasan dan pengetahuan masyarakat juga memperparah kondisi ini.
Regulasi Sudah Ada, Tapi Masih Kurang Efektif
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian regulasi. Beberapa di antaranya adalah Pasal 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang memberikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) wewenang untuk mengakses data dari pihak ketiga demi memastikan kepatuhan wajib pajak dan memaksimalkan penerimaan negara. Selain itu, perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik juga telah diatur dalam PMK No. 210/PMK.010/2018, serta Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menambahkan ketentuan-ketentuan baru yang relevan dengan ekonomi digital.
Namun, adanya aturan-aturan tersebut tidak langsung menyelesaikan tantangan shadow economy. Minimnya transparansi, keterbatasan teknologi pengawasan, rendahnya pengetahuan pajak merupakan berbagai tantangan utama dalam mengatasi fenomena shadow economy.
Langkah-Langkah Strategis
Berikut langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan pihak terkait dalam upaya mengurangi fenomena shadow economy.
a.Digitalisasi, pemanfaatan teknologi big data, dan akal imitatif. Hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga memungkinkan untuk melakukan analisis pola transaksi yang sulit terdeteksi dengan metode konvensional.
b.Pendekatan Pajak yang lebih progresif dan inklusif. Menurut saya, kebijakan perpajakan harus lebih adaptif terhadap kondisi masyarakat Indonesia. Â Sistem pelaporan pajak juga harus dibuat lebih mudah diakses sehingga kemudahan ini dapat memberi motivasi lebih kepada pelaku usaha kecil di sektor digital untuk memenuhi kewajiban mereka.
c.Kolaborasi dengan platform digital seperti marketplace, media sosial dan platform dana digital untuk berbagi data transaksi.
d.Kampanye literasi pajak seharusnya dibuat lebih menarik dan relevan dengan tren di media sosial saat ini sehingga dapat menjangkau masyarakat secara menyeluruh.
e.Pemberian insentif bagi pelapor sukarela, seperti penghapusan denda administratif, atau pengurangan tarif pajak, dapat meningkatkan keterbukaan wajib pajak potensial dalam melaporkan penghasilannya.
Shadow economy bukan hanya sekadar tantangan, tetapi juga sebuah peluang untuk meningkatkan penerimaan negara di tengah maraknya digitalisasi. Dengan langkah-langkah yang strategis dan inovatif seperti yang sudah dibahas sebelumnya, diiringi dengan komitmen dan integritas, Indonesia dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor yang selama ini "tersembunyi." Ingatlah bahwa setiap transparansi dalam pelaporan dan pembayaran pajak sesuai ketentuan merupakan kontribusi nyata bagi kesejahteraan Indonesia. Oleh karena itu, marilah bersama-sama menjadi wajib pajak yang patuh dan bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Rezky, N. P. (2021). KAJIAN KEGIATAN SHADOW ECONOMY DI INDONESIA: SEBUAH STUDI LITERATUR. Jurnal Akuntansi Bisnis Dan Ekonomi, 6(2), 1671--1680.
Andrinata, Reza. (2024, November 18). opini.kemenkeu.go.id Retrieved from
https://opini.kemenkeu.go.id/article/read/mengatasi-shadow-economy-melalui kebijakan-perpajakan-yang-progresif
Theodora, A., & Warastri, A. W. (2024, November 15). kompas.id. Retrieved from https://www.kompas.id/artikel: https://www.kompas.id/artikel/apa-itu-shadow-economy-dan-bagaimana-potensinya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI