Halo! Selamat berjumpa kembali! Kali ini, kita akan membahas stereotip yang diangkat ke dalam sebuah film. Siapa yang belum pernah menonton film karya Ernest Prakasa?Â
Mulai dari "Ngenest", "Cek Toko Sebelah", hingga "Imperfect". Sepanjang saya menonton film karya Ernest, pasti ada hal yang diangkat dalam film tersebut. Nah, untuk saat ini, saya akan membahas film "Ngenest" dan stereotip dan budaya yang diangkat dalam film tersebut.
Film "Ngenest" dirilis pada tahun 2015. Film ini menceritakan kisah hidup Ernest yang mengalami bully karena terlahir sebagai minoritas. Mulai dari masuk SD hingga SMP, ia terus mengalami bully. Berbagai cara ia lakukan supaya dapat dipandang sama dan tidak menerima bully.Â
Bully yang diterima oleh Erneset, membuatnya ingin memutus mata rantai dengan menikahi seorang pribumi. Ernest bertemu dengan Meira kemudian mereka berpacaran. Kendala lain ditemukan oleh Ernest saat menemui ayah Meira, yang tidak menyukai orang Cina karena masa lalu yang dialaminya.
Pada akhirnya, Ernest berhasil menikahi Meira dan melanjutkan hidup walau masih terbayang bagaimana jika anaknya akan menyerupai dirinya. Berarti mata rantai bully itu tidak terputus.
Dalam film ini, saya menemukan stereotip dari ras Tionghoa yang beredar di masyarakat. Stereotip yang pertama adalah fisik yang dimiliki oleh Ernest. Mata sipit dan kulit putih yang dimiliki oleh Ernest langsung dianggap oleh masyarakat adalah orang beretnis Tionghoa. Selain itu, pandangan bahwa etnis Tionghoa harus menikah dengan sesama Tionghoa.Â
Terdapat adegan di mana keluarga Ernest terkejut ketika mendengar Ernest ingin menikahi seorang Pribumi. Pandangan tersebut selalu dikaitkan karena tidak lepas dari aspek sejarahnya. Biasanya, etnis Tionghoa menikah dengan sesama etnis karena adanya prinsip keluarga. Selain itu, dalam film juga diperlihatkan pesta pernikahan Ernest meriah dan penuh dengan budaya Tionghoa. Menurut saya, itu merupakan sebuh stereotip yang dipercaya oleh masyarakat bahwa pernikahan orang Tionghoa pasti meriah dan penuh tradisi.
Selain itu, stereotip yang biasanya disematkan pada etnis Tionghoa adalah, orang-orangnya dapat membaca bahasa Mandarin. Hal itu menyebabkan pandangan bahwa seharusnya semua orang Tionghoa bisa membaca Hanzi. Jika menjawab tidak mengerti ketika ada pertanyaan dianggap tidak ingin mengajari.