"Aku ingin mati ketika usia 56 tahun", ujar kakakku, sekitar sepuluh tahun lalu. Â Dalam keadaan normal, sadar, sehat; ia nyatakan hal itu.
"Tak ada yang bisa memastikan umur atau kapan kita mati. Semua tergantung kehendak Tuhan bukan? Tak bisa diatur oleh kemauan kita", begitu balasku. Kakakku: "Bisa saja, tinggal kuminta pada Tuhan, setidaknya sekitar usia itu, tak lebih tua dari 58 tahun, ya paling maksimal 58-59 tahun bagiku. Itu sudah cukup".
Percakapan serupa itu beberapa kali berulang. Sampai di suatu titik, waktu ulang tahun ke-56 kakakku:Â
"Nah, kamu sudah berulangtahun ke-56 kak, masih hidup kan?" kataku.Â
Kakakku: "Ya... 56 tahun itu berlaku selama tahun ini, hingga aku berulang tahun ke-57".Â
Aku katakan "tak semudah itu kak...".
Di ulang tahun ke-57 dan ke-58 tahun, percakapan yang mirip juga seperti berulang kembali. Kakakku tetap meyakini hidupnya tak akan lama dan permintaannya akan dikabulkan Tuhan. Alasannya sederhana, jika kita meminta dengan sungguh hati, maka Tuhan mendengar, mengabulkan doanya. Itu janji Tuhan. Alasannya, pilihan hidup itu bukan hanya demi dirinya, tetapi juga adik-adiknya, demi tak merepotkan keluarga, dan demi mengurangi kepadatan penduduk dunia.
Kakakku memang unik, darinya aku belajar konsistensi, keyakinan, keadilan. Dalam tahun-tahun sejak pernyataan keinginan hidupnya hingga 56 tahun, ia tetap hidup dengan gembira, tetap menjalankan sisi manusiawinya, tetap marah bila dibutuhkan. Ia tetap jengkel bila menghadapi yang tak berkenan. Ia tetap melakukan kebaikan, tetap menolong, bersedekah, bersyukur. Pun ia tetap merasa tak puas ketika pekerjaan tak sempurna menurutnya. Ia manusiawi. Ia bukan yang suci, tetap bosan ketika siraman rohani atau doa panjang dilakukan oleh para tokoh agama. Tak pernah memilih doa-doa yang panjang. Buku doanya yang sama sudah sangat kumel, dalam buku itu doa terpanjang hanya sekitar 300 kata. Selebihnya doa-doa singkat yang ia daraskan pada waktu-waktu tertentu, yang bisa jadi ia lupa juga sesekali. Ia tetap manusiawi.
Satu bulan lagi mestinya ia merayakan usia ke-59 tahun. Namun, benar katanya, Tuhan mengasihinya dengan lebih sungguh daripada manusia. Ia dipanggil Tuhan di pertengahan Desember 2021. Tanpa sakit yang berat, tidak menyita waktu orang lain, tinggal di rumah sakit hanya sejenak, tak tersentuh oleh pisau bedah. Ia mempertahankan pendapat dan kebebasannya untuk tidak masuk ICU dan tak menggunakan alat bantu lain. Dalam keadaan sadar, ia menerima doa terakhir sebagai penyatuan niatnya, Sakramen Perminyakan, simbol menyatunya dirinya dengan Tuhan. Ia merasakan didampingi adik-adiknya, merasakan dijemput Ibu kami yang lebih dahulu berangkat. Seluruh doanya terkabul.
Sebelum hembusan napasnya berakhir perlahan, kutanyakan kembali padanya:Â
"Kak, kau masih ingat ingin mati di usia 56 tahun? Tuhan sudah memberi bonus dua tahun ya Kak?"Â