Senja terus berusaha menepis segala memori yang ada. Mereka tidak pernah tau bagaimana belakangan ini senja berjuang melawan segala kenangan baik yang berhasil dilewatinya. 12 tahun berlalu, namun seketika sosok yang tak pernah diingatnya, tiba-tiba hadir dalam ingatannya. Ribuan hari Senja lewati dengan berbagai pelik yang silih berganti.Â
Di penghujung Desember, Senja menikmati keseruan bersama dengan sahabat lamanya. Sahabat yang selalu ada saat masa-masa di bangku kuliah. Mereka bertiga, yang kini statusnya sudah tidak lajang lagi, sangat menikmati situasi kebersamaan di tengah keriwehan yang ada. Masing-masing dari mereka sudah mempunyai momongan. Tentu saja, itu menajdi penyebab keriwehannya.Â
"Kalian sekarang punya teman-teman yang seperti kita ini gak?" tanya Titin memecahkan suasana makan malam saat itu.
"Gak punya, gak ada yang sefrekuensi" tegas Senja.
Bagaimana bisa mereka menemukan teman sefrekuensi, sedangkan mereka pendatang, jelas akan lebih nyaman ketika bersama dengan teman-teman sesama perantau.Â
Ketika mereka lanjut menikmati masakan yang saat itu menunya, sambel, petai, ikan dan sayuran rebus, telepon seluler Senja berbunyi, dan masuk notif. Disana suami Senja mengirimkan pesan, bahwa bapaknya teman mereka meninggal. Kebetulan ini juga teman dari sahabat lama Senja, mereka satu almamater dulu. Dalam obrolan itu, mereka berniat untuk ikut pergi melayat.Â
Mereka saling mencari informasi ibadah pemakaman dan waktu pemakaman. Namun akhirnya mereka membatalkan untuk pergi melayat, karena anak-anak yang sedang tidak kondusif.
Tak terasa waktu sudah larut malam, mereka masih asyik dalam obrolan seputar rumah tangganya.
"petainya masih?" celoleth Senja memecah keseruan obrolan mereka.
"Masih, kenapa?"
"Mau makan, laper lagi" Pecahlah malam itu dengan suara tawa mereka yang nyaring, karena Senja tidak berubah, masih laper kalau mau tidur.Â