Mohon tunggu...
Elisa Puspita Rinjani
Elisa Puspita Rinjani Mohon Tunggu... -

hanya tulisan sederhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bali Nine: Antara Hukuman Mati dan Hak Asasi

19 Februari 2015   14:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:54 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum usai pro-kontra eksekusi mati 6 terpidana narkotika Sabtu (17 Januari 2015) lalu, Indonesia akan kembali melakukan eksekusi mati bagi duo Bali Nine Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang keduanya merupakan warga negara Australia. Myuran Sukumaran dan Andrew Chan akan dieksekusi mati setelah pengajuan grasi keduanya ditolak oleh Presiden Jokowi. Indonesia tidak main-main dalam usaha pemberantasan narkoba dan tidak akan memberi ampun bagi para gembong pengedar narkoba. Seperti halnya kejahatan terorisme, kejahatan narkotika telah membuat generasi muda bangsa hancur ‘secara perlahan’.

Kontroversi

Eksekusi mati terpidanan narkotika tahap kedua ini menimbulkan penolakan dari dalam dan luar negeri. Penolakan dari para pegiat (aktivis) HAM menolak dilaksanakannya hukuman mati (finalty dead). Pasalnya hukuman mati merupakan hukuman mati “dianggap” telah melanggar hak untuk hidup yang diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Bahkan Indonesia sendiri telah mengakui dalam konstitusinya bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A UUD 1945). Bukankan dari sini jelas bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, tapi hanya dengan kelompok ‘regu tembak’ Indonesia sendiri telah membuat orang yang tadinya ‘hidup’ tidak dapat mempertahankan kehidupannya bahkan terhadap warga negara Indonesia sendiri.

Hukuman mati (finalty dead) merupakan bentuk hukuman yang terburuk dan kejam. Hukuman mati tidak manusiawi dan telah merendahkan martabat manusia.

Penolakan terhadap hukuman mati (finalty dead) dianggap telah melanggar hukum Tuhan. Tuhan yang telah menciptakan manusia, maka Tuhan pula yang berhak untuk mencabut nyawa seorang manusia. Toh, nantinya manusia itu juga akan mati sendiri tanpa harus dieksekusi mati.

Efek jera?

Hukuman mati (finalty dead) ‘dianggap’ akan menimbulkan efek jera bagi para gembong dan pengedar narkoba baik dalam dan luar negeri untuk tidak coba-coba masuk ke Indonesia apalagi mencoba merusak generasi muda bangsa. Hukuman mati (finalty dead) nantinya bisa menjadi obat bius yang dapat dijadikan shock terapy bagi orang yang coba-coba melanggar undang-undang narkotika di Indonesia.

Namun, apakah hukuman mati itu sendiri bisa dengan efektif menimbulkan efek jera dan menjamin bahwa nantinya tidak akan ada lagi orang yang berani menjadi pengedar narkoba di Indonesia?

Eksekusi mati ‘sepertinya’ tidak akan menimbulkan efek jera pada pengedar narkoba. Menurut saya, eksekusi mati di Indonesia menelan biaya yang cukup besar hanya untuk satu orang terpidana menjadikan proses eksekusi mati dilakukan dalam kurun waktu yang lama. Toh dengan proses eksekusi mati yang lama, para terpidana mati itu masih bisa hidup sampai usia tua.

Menurut saya, akan lebih baik kalau kita memperbaiki generasi bangsa Indonesia sendiri. Taruhlah misalnya, justru permintaan akan barang haram tersebut justru berasal dari Indonesia sendiri, bukan tidak mungkin satu orang dieksekusi mati nantinya akan datang sepuluh orang yang siap membuat generasi muda bangsa hancur secara perlahan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun