Jika kita berkaca pada masa-masa sekolah, terlebih pada saat ujian. Manakah yang lebih dihargai antara anak yang mencontek namun nilainya sangat bagus atau anak yang jujur namun nilainya kurang bagus? Tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak guru dan sekolah yang lebih mengapresiasi nilai dibanding proses. Jika sedari dini sudah ditanamkan bahwa yang paling penting ialah hasil dan keuntungannya semata, maka tak menutup kemungkinan ketika sudah menjadi mahasiswa pun mindset tersebut sudah mengakar pada dirinya. Alhasil, joki tugas maupun ujian kuliah pun menjadi pilihan utama demi meraup keuntungan. Begitupun bagi penyedia jasa joki, baginya keuntungan material sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tak berfikir panjang akan dampak hal tersebut.
Akibat jangka panjang joki di dunia perkuliahan setidaknya ada dua hal, yaitu:
1. Berpeluang Mencetak Koruptor Ulung
Hasil penelitian dalam sebuah jurnal yang berjudul "Pengaruh Habits of Mind terhadap Kemampuan Generalisasi Matematis" (Dwirahayu et al., 2018: 102) memaparkan bahwa salah satu habits of mind siswa yaitu pengalaman lampau digunakan untuk membentuk pengetahuan baru (applying past knowledge to new situation). Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwa pengalaman atau kebiasaan yang kita bangun, terlebih jika dari dini akan berpengaruh pada masa depan kita dan bagaimana kita bertindak.
Jika seseorang terbiasa dididik untuk selalu mendapatkan nilai bagus, tanpa memperhatikan prosesnya, lantas apa yang kita harapkan ketika kelak ia bekerja? Jika berjuang mengalahkan rasa malas dalam mengerjakan tugas kuliah saja tak mau, lantas perubahan seperti apa yang kita harpkan dari para mahasiswa? Padahal salah satu peran mahasiswa adalah agent of change, yang sudah selayaknya berjuang memberikan perubahan untuk negeri ini agar menjadi lebih baik. Namun, Jika tidak jujur dalam dunia perkuliahan sudah menjadi habit bahkan suatu kebanggan demi meraup keuntungan, lantas apa yang menjamin mereka akan jujur ketika bekerja atau ketika menjabat kelak? Bukan kah korupsi adalah upaya pemenuhan keinginan seseorang tanpa mau berupaya lebih keras? Bukan kah mereka sama-sama ingin mendapatkan apa saja yang mereka inginkan tanpa peduli pada prosesnya?
Begitupun halnya dengan habit joki tugas kuliah. Jika seseorang telah terbiasa untuk tidak jujur dan menganggap joki itu hal yang lumrah, maka itu merupakan salah satu cara jitu untuk mencetak para koruptor ulung. Bagaimana tidak? Bukan kah mereka sudah terbiasa dan lihai dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa memegang kejujuran? Bukan kah mereka sudah handal dalam menipu dosen dengan tugas-tugas hasil joki mereka?
2. Berpeluang Merusak Generasi Bangsa
Menurut Prof. Rhenald Kasali, generasi strawberry ialah generasi yang memiliki gagasan-gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan sakit hati. Bukan kah itu realita yang ada di tengah anak muda saat ini? Banyak yang semakin kreatif, contohnya seperti maraknya jasa joki tugas melalui market place, website, dan bahkan aplikasi khusus. Namun, di sisi lain banyak sekali anak muda yang mengeluhkan kesehatan mentalnya karena tugas-tugas yang harus ia kerjakan di bangku perkuliahan. Alhasil dengan dalih demi menjaga kesehatan mental, lantas joki menjadi pilihan. Banyak saya menemui hal seperti itu selama kuliah. Bahkan, saya juga pernah diminta untuk menjadi joki tugas teman-teman selama di bangku kuliah. Namun, saya menolak itu semua meski godaan cuan saat itu cukup menggiurkan.
saya sudah berikrar pada diri sendiri, tepatnya sejak SMP untuk tidak pernah melakukan hal-hal yang menciderai esensi pendidikan. Mindset itu terbentuk ketika saat itu saya menjadi bintang kelas dan bisa dibilang cukup mahir dalam matematika, yang karena itulah banyak teman-teman sekelas memilih untuk mencontek hasil PR saya. Alasannya sama saja, jika ada yang mudah kenapa harus susah-susah mengerjakan? Begitulah kata teman-teman saya dan tentu saja saya memberikan hasil PR itu begitu saja karena kalau tidak, tentu sudah dicap sebagai anak yang tak setia kawan. Saat itu, saya merasa menjadi pahlawan karena meringankan beban teman-teman saya.
Ketika teman-teman saya mendapatkan nilai yang bagus, di situlah guru matematika kami curiga, kemudian menghampiri saya dan menghukum saya karena sudah bisa dipastikan bahwa sumber dari semua jawaban itu adalah saya. Ya, tentu saja saya tak dapat mengelak karena memang begitu kenyataannya. "Kamu sadar nggak? Kalau tindakanmu itu bukan membantu, tapi menjerumuskan karena justru menghalangi teman-temanmu buat dapat ilmu!". Kurang lebih begitulah ucapan pak guru di dalam heningnya suasana kelas saat itu yang membuat saya begitu tercengang. Semenjak saat itu, saya begitu menyesal memberikan contekan karena ternyata itu sama saja seperti menjadi penjahat rasa pahlawan, menjadi penghalang ilmu, dan perusak generasi bangsa.
Lantas apa bedanya dengan para joki tugas yang bebas berkeliaran di luar sana? Bukan kah mereka menjadi agen-agen yang mendukung generasi ini untuk semakin lemah dan menikmati kelemahannya? Bukan kah mereka sama saja seperti agen perusak generasi bangsa yang dipelihara? Lantas, siapakah yang memelihara? Bisa jadi diri kita sendiri pemeliharannya, dengan menikmati jasa itu bukan kah sama dengan mendukung dan bukan kah mendukung sama artinya memelihara?