Segelas kopi manis terhidang di meja kayu yang telah menjadi penghuni tetap rumahku. Sambil menikmati goreng singkong yang baru diangkat dari wajan, mataku menyaksikan sekolah yang dibiarkan ambruk, sementara murid-muridnya belajar di tenda-tenda darurat. Sementara wakil rakyatnya sibuk mengajukan mobil dinas baru. Aku hanya ditemani oleh bapak dan ibu, sedangkan adikku yang bungsu telah pergi dijemput bermain bola oleh teman-temannya.
“Man! Si Badrun anaknya Pak Samsul sekarang telah menjadi PNS.” Ibuku membuka pembicaraan. “Bukannya dia guru honorer di sekolah menengah?” Mataku tidak berpaling dari televisi.
“Itu dulu. Sekarang sudah jadi PNS.”
“Hebatlah,” jawabku tidak acuh.
“Tapi……”
“Apa?” Aku tidak sabar mendengar kelanjutannya.
“Pak Samsul harus menjual sawahnya di kampung.”
“Memang kenapa?” tanyaku, penasaran.
“Pak Samsul harus mengeluarkan uang 30 juta agar Si Badrun jadi PNS.”
“Tiga puluh juta? Besar amat. Mending buat usaha.”
Ayahku yang sejak tadi diam ikut bersuara.