Mohon tunggu...
Eli Rusli
Eli Rusli Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Alumni UPI Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Malam, Pak Tua!

17 Oktober 2011   23:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:50 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti biasa, pada saat aku pulang malam, seorang lelaki tua duduk menyendiri di depan warung mie rebus yang sepi pengunjung. Baju kusam yang membungkus badannya hanya mampu sedikit mengusir angin malam yang senantiasa mengelilinginya. Sebuah ransel tentara berwarna hijau tua pucat terikat di badannya. Kakinya akan lincah bergerak pada saat terdengar suara dari pintu lintasan kereta api yang akan segera ditutup. Sambil memainkan harmonika, lelaki tua itu mengulurkan tangan kepada pengendara kendaraan yang mengular di belakang pintu lintasan kereta api. Lagu-lagu perjuangan yang dimainkannya beradu dengan suara dari pintu lintasan, suara rekaman perempuan yang mengingatkan pengendara agar tidak menerobos lintasan karena melanggar undang-undang lalu lintas serta deru mesin kendaraan. Dia akan kembali duduk di depan warung mie rebus, ketika lintasan kereta api itu telah dibuka kembali.

Pemandangan ini aku saksikan setiap pulang malam. Sesekali aku pindahkan selembar uang ribuan dari saku celana. Aku penasaran dengan lelaki tua yang selalu membawakan lagu perjuangan itu. Kebetulan malam ini anak dan istri tidak di rumah. Jadi tidak ada yang menunggu. Pelan-pelan, sepeda motor aku arahkan ke pojok warung. Tidak terlalu gelap sehingga mudah untuk mengawasinya. Maklumlah, curanmor sedang merajalela. Lengah sedikit, bisa raib itu motor.

Lelaki tua duduk menyender di dingding warung. Larut dalam lamunan. Pandangannya menyiratkan keresahan. Gelisah tepatnya. Aku perlahan mendekatinya.
“Selamat malam Pak!”
Lelaki tua menatap penuh curiga. Dia waspada dengan kedatanganku. Aku tersenyum. Mencoba mencairkan keadaan. Lelaki tua tidak goyah. Tetap menatap dengan penuh kecurigaan. Lalu, kepalanya berputar mengamati keadaan di sekelilingku. Mungkin aku dikira satpol PP, polisi, atau petugas sosial yang sering merazia gelandangan dan pengamen. Setelah memastikan aku sendirian, dia menganggukkan kepala.
“Selamat malam Nak!” ucapnya pelan.
Aku duduk di samping kanan lelaki tua.
“Panggil saja Saya Rahmat,” kataku.
Hening tidak ada kata terucap. Hanya terdengar suara kendaraan yang lewat di depan kami.
“Sudah makan Pak?” tanyaku ragu-ragu.
Tidak ada jawaban. Tatapannya tajam mengarah padaku. Salah tingkah jadinya.
“Belum Nak.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
“Bagaimana kalau saya belikan nasi?” Tidak ada jawaban.
“Ayo Pak! Kita makan di sana!” Aku meraih tangannya.
“Tidak… Tidak usah. Di bungkus saja.” Tangannya menepis tanganku.
“Baiklah. Tunggu sebentar!” Aku berdiri menuju Warung Tegal yang ada di samping warung mie rebus.
Tidak sampai lima menit, aku sudah kembali dengan sebungkus nasi lengkap dengan lauk pauknya.

“Kamu tidak makan Nak?” Aku menggelengkan kepala.
Lelaki tua makan dengan lahapnya. Aku memperhatikan di sampingnya. Menunggu hingga nasi ditangannya habis. Setelah melahap nasi terakhirnya. Lelaki tua tersenyum. Senyum pertama semenjak kedatanganku. Seplastik kecil air menutup acara makan malamnya.
“Terima kasih Nak… Terima kasih.”
“Rahmat saja Pak.”
Raut muka lelaki tua mulai bersahabat.

“Nama Saya Harjo.” Lelaki tua mengenalkan diri.
“Punya keluarga?” tanyaku.
“Ada…. Cuma… Panjang ceritanya, Mat.” Pak Harjo menarik napas panjang.
“Oh… Maaf… Maaf…”
“Tidak apa-apa kok. Dulu saya kerja di kantoran. Tepatnya di kantor kecamatan. Saya melayani masyarakat yang mau bikin KTP, KK, Surat Pindah, dan lainnya. Saya…” Pak Harjo terdiam.
Aku tidak berani bertanya. Pak Harjo sepertinya menyimpan kenangan yang mendalam.
“Saya bekerja benar-benar untuk melayani masyarakat. Saya tidak pernah mau menerima tips, apalagi menaikkan tarif melebihi peraturan yang berlaku. Saya benar-benar ikhlas melakukan semua itu.” Pak Harjo meneruskan ceritanya.
“Tetapi… Teman-teman di kantor menganggap saya aneh. Katanya saya terlalu jujur. Bodoh, tidak mau memanfaatkan kesempatan. Saya tidak memperdulikan ucapan mereka.”
“Lalu mengapa Bapak keluar?” tanyaku penasaran.
“Saya kecewa sama atasan.” Muka Pak Harjo kembali ke masa lalu.
“Waktu itu, ada orang kaya yang membuat KTP. Karena dia datang belakangan, otomatis KTP nya juga selesai belakangan. Tetapi dia tidak mau. Dia mau membayar berapa saja asal KTP nya bisa selesai hari itu juga. Permintaan itu saya tolak. Dia marah-marah. Dan mengadu ke atasan saya. Ternyata orang itu mempunyai hubungan dengan salah seorang pejabat. Saya di caci maki. Harga diri Saya dinjak-injak. Tidak ada yang membela Saya Mat.” Tetesan air bening mengalir di kelopak mata Pak Harjo.
“Setelah kejadian itu Saya mengundurkan diri. Saya bekerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Mungkin karena tidak tahan dengan kehidupan Saya. Istri dan anak pergi meninggalkan Saya sendirian. Untuk menghibur diri, Saya memainkan harmonika ini.”

Aku bisa merasakan kepedihan Pak Harjo. Mendengar kisahnya, aku malu sendiri. Pak Harjo sangat jujur dan teguh pendiriannya. Pak Harjo seharusnya menjadi atasan bukan bawahan. Beliau tidak pernah meminta, menyuruh, atau banyak bicara. Gila jabatan tidak pernah ada dalam pikirannya. Keteladan, memberikan yang terbaik, serta berkorban untuk masyarakat adalah prinsipnya. Seandainya saja Bangsa Indonesia mempunyai orang seperti ini, tidak akan ada korupsi, sogok menyogok, rebutan jabatan, atau gila karena gagal jadi anggota DPR atau menteri.

“Saya membawakan lagu-lagu perjuangan hanya sekedar mengingatkan kepada orang-orang yang lewat bahwa tanah air indonesia tercinta ini didirikan oleh tumpah darah para pahlawan, tanah ini jangan sampai dikotori oleh tangan-tangan kebohongan dan kemunafikan.” Pak Harjo menatapku. Aku mengiyakan pelan. Darahku mengalir kencang. Terbakar ucapan Pak Harjo.

Jam berdetak, mengikuti perjalanan malam. Bintang berkedip dari sudut-sudut langit. Kendaaran yang lewat semakin berkurang. Jeritan binatang malam yang tadi kalah oleh deru mesin terdengar nyaring di telinga. Pertanda harus segera pulang. Aku berikan secarik kertas kepada Pak Harjo.
“Kalau perlu bantuan hubungi Saya saja.” Pak Harjo menganggukan kepala. Pintu lintasan kereta api berbunyi lagi. Hanya sedikit kendaraan yang mengantri di belakang lintasan. Suara harmonika Pak Harjo kembali beradu dengan suara yang keluar dari lintasan kereta api.***

Intro lagu bunga trotoar terdengar nyaring dari telepon genggamku. Di layar terbaca “Istriku”.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikum salam. Yah… Yah….!!” Suara istriku terburu-buru.
“Ada apa…? “ Aku penasaran. Tumben siang hari begini menelepon, bathinku.
“Ada orang dari dinas sosial. Katanya Ayah saudara dari Pak Harjo.”
Aku diam sejenak.
“Emang ada saudara kita yang namanya Pak Harjo. Ko Ibu tidak tahu?”
“Emang kenapa?”
“Katanya Pak Harjo meninggal dunia.”
“Innalillahiwainnailaihiroojiuun.”
“Pak Hajo itu saudara darimana Yah?”
Aku tidak menjawab.
“Hallo… hallo….”
“Ya…. Bilangin saja. Ayah segera pulang.”
Aku putuskan sambungan telepon genggam. Selembar surat ijin membawaku pulang dari tempat kerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun