Mohon tunggu...
Eli Rusli
Eli Rusli Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Alumni UPI Bandung

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ngadulag, Romantisme Masa Kecil

3 Oktober 2015   11:58 Diperbarui: 3 Oktober 2015   14:56 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi/tribunnews.com

Ketika saya masih anak-anak sekitar tahun 80 an salah satu tradisi menyambut Ramadhan yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak dan remaja adalah ngadulag. Yaitu menabuh bedug secara terus menerus disertai kohkol (kentungan) dengan nada yang diatur sendiri. Bunyi dulag pertama kali didendangkan selepas shalat shubuh sehari menjelang puasa Ramadhan yang menurut Rachmatullhah Ading Affandie (RAF) disebut sebagai dulag kuramas yaitu menabuh bedug untuk memberikan tanda berkeramas karena esoknya mulai berpuasa.

Dalam roman pondok dan carita pondok karya Ahmad Bakri seperti Ki Merebot, Payung Butut, dan Kasambet tergambar jelas bagaimana suasana bulan Ramadhan tempo dulu yang senantiasa dihiasi oleh ngadulag. Dulag dalam tradisi orang sunda memegang peranan penting dalam mengisi bulan Ramadhan. Dulag akan terdengar menjelang waktu sahur, setelah shalat tarawih, dan setelah beres tadarus. Bahkan memasuki lilikuran yaitu malam tanggal 21 Ramadhan sampai dengan menjelang Idul Fitri, dulag akan semakin sering terdengar menyambut malam-malam ganjil. Puncaknya akan terjadi pada malam takbiran (Idul Fitri) dimana bunyi dulag akan terdengar dari setiap kampung selepas shalat isya sampai menjelang waktu shalat shubuh.

Begitu pula dalam buku Dulag Nalaktak karya Usep Romli H.M disebutkan bahwa bunyi dulag selepas shalat tarawih, selepas tadarus, atau menjelang sahur akan terdengar berbeda. Ngadulag tidak bisa dilakukan dengan asal pukul bedug saja. Ada aturannya. Dikutip dari buku Dulag Nalaktak karya Usep Romli H.M dijelaskan agar bunyi dulag terdengar merdu harus tanaga diatur, rasa dipanteng. Ambéh gumulung, ambéh karasa nimatna ku nu nakol jeung ku nu ngadéngékeun. Kudu anca, ngagalindeng. Malah sada ngahariring. Mun dilenyepan, kira-kira kawas kieu : Tirilik jangkrik, jangjang kijang. Tirilik jangkrik, janjang kijang.

Dulag berfungsi sebagai alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sunda jaman dulu. Dulag adalah tanda atau isyarat bagi  masyarakat selama bulan Ramadhan. Bunyi yang dihasilkan dulag selama bulan Ramadhan menandai aktivitas yang akan atau telah dilakukan masyarakat sunda. Tidak salah juga apabila ada yang berpendapat dulag (ngadulag) sebagai seni sebab keterampilan ngadulag dan bunyi yang dihasilkan dulag di berbagai daerah di Jawa Barat dan Banten memiliki kekhasannya masing-masing. Sekarang, tidak jarang apabila dulag dikolaborasikan dengan aliran-aliran musik modern.

Kohkol dan bedug sebagai dasar perangkat ngadulag menurut Asep S Muhtadi adalah simbol komunitas muslim tradisional atau biasa diidentifikasi sebagai pengikut kaum nahdliyin. Hingga dekade 1970 an sempat ada kontroversi antara kalangan tradisionalis dan modernis. Salah satu tema yang diperbincangkan adalah berkaitan dengan penggunaan kohkol dan bedug di mesjid-mesjid. Kalangan modernis menganggapnya sebagai sesuatu yang diada-adakan (bid’ah). Namun perbedaan pendapat ini tidak terlalu berpengaruh di dalam kehidupan masyarakat sunda. Buktinya hampir di seluruh mesjid-mesjid di tanah pasundan hampir kita jumpai bedug dan kohkol.

Seiring berkembangnya alat komunikasi, dulag sebagai alat komunikasi massa di bulan Ramadhan bagi urang Sunda, fungsinya semakin berkurang. Fungsi dulag perlahan-lahan digantikan oleh pengeras suara yang mulai beredar di mesjid-mesjid. Hadirnya siaran televisi di waktu sahur semakin meminggirkan acara ngadulag di mesjid. Sebagian warga masyarakat lebih senang menonton televisi sambil menyantap makan sahur atau menunggu waktu berbuka puasa di depan televisi. Informasi waktu imsak, shalat, buka puasa tidak hanya didapat dengan mudah di depan televisi tetapi juga di telepon genggam yang sudah tersebar ke desa-desa.

Kini cerita ngadulag sepanjang bulan Ramadhan tinggal kenangan, mungkin hanya akan ditemukan di sebagian pelosok desa. Ngadulag sekarang bukan lagi sesuatu yang sangat penting di bulan Ramadhan. Ngadulag sudah dianggap sebagai aktivitas seni yang hanya ditampilkan di tempat-tempat tertentu dan pada acara-acara tertentu. Ngadulag sudah tergilas oleh jaman. Sama dengan tradisi menyambut bulan Ramadhan lainnya seperti membuat lodong, celengan bambu, bermain gobak sodor, dan mandi keramas bareng-bareng di sungai.

Ramadhan 1436 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun