Mohon tunggu...
Eli Rusli
Eli Rusli Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Alumni UPI Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sogokan (Bagian 4 dari 4)

19 September 2014   15:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:15 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Begini Nak Rahman, kalau bisa, adik ipar Bapak yang bungsu bisa ikut bekerja dengan kamu. Biarlah jadi operator pabrik juga tidak apa-apa. Yang penting bisa bekerja daripada di sini bekerja serabutan.”

Sebuah ucapan dan permintaan yang sama sekali tidak aku harapkan. Bukannya aku tidak mau mengabulkan permintaan Ustad Abdul, aku sangat mengetahui kondisi perusahaanku walapun aku baru bekerja tiga bulan. Selain itu aku tidak pernah mengetahui bagaimana karakter adik iparnya Ustad Abdul. Aku sama sekali buta tentang adik ipar Ustad Abdul. Melihat aku diam saja, Ustad Abdul melanjutkan.

“Saya mengerti, bekerja di kota kan susah. Nak Rahman tidak usah kuatir. Kalau butuh uang pelicin minta saja sama Bapak.”

Perkataan itu semakin menusuk jantungku. Mulut terkunci. Tidak mampu mengeluarkan suara. Jika bisa, telinga ini ingin rasanya disumbat oleh besi baja yang sangat tebal agar aku tidak dapat mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut seorang ustad.

Siang ini sangat panas sekali. Walaupun keadaan terik, di atas langit awan hitam menggulung berkelompok-kelompok. Sepertinya hari akan hujan. Keadaan terminal bis tidak terlalu ramai. Penumpang yang naik dan turun dari bis berlomba adu cepat dengan pedagang asongan. Perasaanku tidak karu-karuan. Dalam tas hitam yang kubawa, di antara baju-baju, terselip amplop coklat yang berisi lamaran dari Ustad Abdul. Sedangkan amplop putih kecil yang berisi lembaran rupiah tersandera di bagian dalam tas. Aku tidak bisa menolak permintaan Ustad Abdul. Begitupun kedua orang tuaku, tidak sanggup berbuat apa-apa. Kedudukan Ustad Abdul di lingkungan tempat tinggalku banyak mempengaruhi keputusan aku dan kedua orangtuaku.

Dalam hati yang tidak menentu, aku naik bis yang akan membawaku kembali ke perantauanku. Sengaja aku memilih tempat duduk di dekat jendela agar dapat menghibur diri dengan lukisan alam yang akan tersaji selama di perjalanan. Di luar, masih dalam terminal bis, calo-calo beradu mulut dengan kondektur bis yang kurang memberikan uang rupiah. Tetes-tetes hujan membentuk pecahan-pecahan air di kaca jendela bis. Sinar matahari masih begitu terik. Sepertinya pelangi akan segera menghiasi langit. (Tamat)

*dimuat di Harian Inilahkoran Edisi 19 Februari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun