Malam menganyam lelap. Bisu dan tenang berkawan mesra. Detak jarum detik terus melaju di atas dinding ruang tamu. Aku coba sejenak menatapnya. Lama aku terdiam. Tetap bisu membelenggu. Tanpa terasa, setetes air mata jatuh. Hati kecil berpekik, ‘aku tidak kalah, setiap insan yang lahir di bumi ini layak menjadi pemenang dalam hidupnya. Sebab, kutahu mujizat itu nyata.
Sebuah syair dari hape genggam itu mengantarku kembali merengkuh malam, /...di saat kutak berdaya, kuasa-Mu yang sempurna//ketika kupercaya, mujizat itu nyata /.
***
Mbay, pagi itu masih dingin sejak semalam. Aku bergegas bangun, ketika ayam berkokok dua kali. Aku bergegas membersihkan diri, lalu mendandan diri seadanya.
Dari balik kain penutup pintu, ayah mendekat. Ibu juga ikut merapat. Meski pagi masih menggurat, terpancar jelas kesedihan tak berhingga.
“Nona, su siap – siap kah?”, kata ayah.
“Su dari tadi, ayah”
“Itu bis su mau jemput”
Aku memeluk sang ayah dengan lekat. Tak terbendung air mata perpisahan yang terpaksa. Mengalir deras. Semestinya, aku harus tinggal dan berlama – lama dengan ayah dan ibu, serta kakak dan adikku selepas kuliah itu Tapi, jalan hidup selalu ada ngarai dan jurang. Toh, rasa kekeluargaan tidak mesti hidup seatap dan makan sepiring nasi, pikirku.
“Nona, jalan baik – baik e, kau pergi sesuai maumu. Ayah dan mama menyertai dengan doa”, bisiknya. Air mata ini semakin deras.
Beberapa saat, bis Sinar Rembulan datang menjemput. Sekali lagi kupeluk ayah dan ibu. Tanpa kata terucap. Tanpa tutur pun berujar. Selain, setangkai doa yang selalu ditanam dalam lubuk hari ini, semoga Tuhan membalas semua kebaikan mereka.