Saat saya masih ketawa-ketiwi bertukar kabar dengan sahabat yang terpisah jarak, mengobrol mulai dari kelakuan murid yang berani menghajar guru, hingga serba serbi pilpres, tiba-tiba dia pun nyeletuk perkara #JusticeForAudrey diiringi sumpah serapahnya. Langsung jemari dan mata ini menelusuri berita yang ada.Â
#JusticeForAudrey merupakan petisi untuk meminta keadilan bagi Audrey, siswi SMP yang menjadi korban perundungan. Tak tanggung-tanggung, pelaku berjumlah 12 orang dan semuanya masih berstatus siswi SMA. Saya kira kasus bullying tingkat brutal hanya ada di drama korea, nyatanya tidak. Kejadian ini ada di tanah air, tepatnya di Pontianak. Jika ingin tahu lebih detail cerita, media telah banyak membahasnya, seperti di sini.Â
Seperti kebiasaan warganet pada umumnya yang bila diberi berita, langsung meledaklah semua. Cacian untuk pelaku sudah menghiasi twitter, bagaimana tidak, pelaku dikabarkan masih sempat berswafoto dan menggunakan fitur boomerang khas Instagram saat berada di kantor polisi. Saya pun otomatis misuh (mengumpat dalam Bahasa Jawa) Â saat membaca berita ini. Bahkan walikota Pontianak juga sudah mengunjungi korban dan meminta adanya tindakan tegas untuk pelaku.Â
Namun, bagaimanakah baiknya?
Saat kita menghadapi kasus tindak kriminal, kekerasan, atau pelanggaran lain yang melibatkan pelaku yang masih di bawah umur, akan ada dilema yang dihadapi. Dalam kasus ini, di satu sisi korban adalah anak di bawah umur yang harus dibela haknya. Di sisi lain, pelaku yang masih berstatus siswa SMA tentunya mendapat pertimbangan-pertimbangan khusus terkait hukumannya.Â
UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Seperti dalam UU No 11 Th 2012, anak yang berkonflik dengan hukum adalah mereka yang berusia 12-18 tahun dan diduga melakukan tindak pidana. Dalam proses peradilannya pun diwajibkan adanya diversi, yang tujuannya sebisa mungkin mengarah pada perdamaian di antara kedua belah pihak.Â
Adanya wacana seperti inilah yang juga menyulut amarah warganet hingga timbul tagar yang menyuarakan keadilan bagi korban. Dilematis memang, bahkan dalam UU ini pun terkesan sebisa mungkin mempertimbangkan korban, namun juga harus memberikan efek jera pada pelaku. Semua tergantung pada proses peradilan nantinya, dan bagaimanakah iktikad pelaku serta keinginan korban.Â
Kenakalan Remaja Masa Kini
Adanya UU perlidungan anak tentunya untuk melindungi masa depan pelaku yang sebenarnya masih panjang. Sayangnya, kenakalan remaja masa kini tak layak disebut kenakalan. Â Dalam kasus ini korban diseret, ditendang, dipukul, dan dilukai bagian tubuh vitalnya. Jika kategori seperti ini dinamakan kenakalan remaja, apa kabar teman SMA saya yang dianggap nakal gara-gara lompat pagar dan bolos sekolah?Â