Diiming-iming suami untuk piknik tipis-tipis dengan menunjukkan beberapa foto memukau di Google Maps, kami pun pergi ke tempat itu. Walau sempat berpesan, "Tapi jangan kecewa kalau tempatnya sudah berubah", toh kami tetap menuju ke sana.Â
Dengan biaya parkir 2000 rupiah dan tiket masuk 3000 rupiah, saya sudah bisa menebak tempat wisata ini pastilah sederhana. Dari lokasi parkir, pengunjung harus menuruni jalan paving. Konon katanya 4 tahun lalu masih tanah dan membuat pengunjungnya terpeleset. Oke, akses tempat wisata memang harus dibenahi dong, pikir saya.Â
Sederhana saja sebenarnya, sebuah kolam luas di pinggiran petak sawah. Terlihat beberapa remaja lelaki sedang asyik berenang, ada pula yang sedang memadu kasih sambil bermain ban dengan modus belajar berenang (aduh klasik bener). Karena penasaran, saya pun mendekati kolam berair jernih tersebut dan tampaklah ikan kecil berenang kian kemari.Â
Anda tak akan menemukan nemo di sini, hanya ikan kecil berwarna hitam yang bersembunyi di balik tanaman air. Sesekali keluar mengintip seolah ingin tahu manusia mana lagi yang datang ke tempat ini.
Sayangnya hanya di bagian pinggiran tembok pembatas, ikan ikan ini mampu bersembunyi. Mengapa? Hanya sebagian saja tanaman air yang tersisa di dalam kolam ini. Lainnya hanya beralaskan pasir berbatu. Mengapa? Ah saya yakin pembaca tahu jawabannya.Â
"Nanti juga tumbuh sendiri," celetuk suami merespon keluhan saya tentang tanaman air yang sedikit. Terbayang beberapa foto yang saya lihat di Google Maps, Instagram, facebook.
Entah mengapa saya sedih. Sedih di tengah piknik. Untuk apa sebenarnya saya ke sini? Memanjakan mata? Berenang bersama ikan? Atau snorkeling murah? Apakah pengunjung lain tak bisa puas hanya dengan menikmati pemandangan air jernih ini?
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba wisata alam menjamur. Itu bukan hal buruk, sungguh, andai pengunjung mau menahan egonya. Namun semakin hari, semakin menjamur tren berfoto di wisata alam. Seolah membangun citra diri bahwa orang tersebut adalah tipe petualang.
Saya tahu itu hak. Saya pun pernah bertualang dan mengunggah foto diri. Namun, tak bisakah kita sedikit mengerem? Bisakah kita memilah mana yang aman untuk alam, mana pula yang mengancam kelestariannya? Bukankah jika alam itu rusak, tak ada lagi view alam yang bisa dibanggakan?
Dilema Wisata Alam Bawah Air
Apa yang Anda inginkan saat berkunjung ke wisata alam bawah air? Berenang? Ataukah memanjakan mata?
Saya yakin banyak peminat snorkeling di luaran sana. Siapa yang tidak akan terpukau menikmati pemandangan bawah air di dalam air. Ah, itu sungguh hal yang indah. Setidaknya cobalah sekali-sekali sebelum Anda menua.Â
Namun jika semua orang masuk ke dalam air, mencicipi sensasi berenang bersama ikan, serta mengabadikan momen tersebut demi proyeksi diri yang 'wah', lalu siapa yang menjaga agar ikan dan rumahnya tetap ada?Â
Di satu sisi, warga sekitar ingin mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengelola wisata alam. Di sisi lain, warga sendiri juga harus mampu mengelola wisata tersebut agar tetap layak untuk dijadikan tempat wisata. Sementara pengunjung?
Hanya datang, bayar tiket, menikmati sepuasnya dan tentu saja, ambil foto. Kalau bisa ambil foto yang unik, aneh, nyeleneh, ciamik, apa sajalah pokoknya layak dapat like di media sosial. Entah dari posenya. kostumnya, atau angle-nya.Â
Menikmati alam bawah air itu sungguh dilematis. Kalau cuma dilihat saja, sayang, apalagi jika datang dari jauh. Ingin masuk ke dalam airnya tapi takut merusak ekosistemnya. Sementara, ekosistem bawah air itu sungguh menggoda, memancing hasrat, namun tak ingin melukai. Yah begitulah kiranya, seperti perasaan mereka yang menahan deru rindu pada mantan (#eh..).
Itulah sebabnya aturan dalam tempat wisata itu penting. Di lokasi Sumber Sira tadi, aturan yang ada hanyalah: Dilarang memakai bikini. Lah?! Mungkin karena lokasi wisata ini berada di desa dan demi menjaga si perempuan itu sendiri (atau menjaga pandangan petugasnya, hehe).
Aturan ketat di lokasi wisata alam itu perlu untuk mengurangi tindakan kurang bertanggung jawab pengunjung, seperti membuang sampah ke air, membuang sisa makanan/minuman ke air, membawa peralatan aneh-aneh ke dalam air. Namun lucunya, lokasi ini malah dijadikan area underwater photohunting dengan model full make up lengkap dengan kostumnya.
Oke, mungkin saya saja yang berlebihan dalam piknik ini. Mungkin memang zamannya untuk eksplorasi alam demi foto yang menarik decak kagum.Â
Aturan demi Konservasi
Di tengah fenomena instagrammer yang haus petualangan, ada beberapa lokasi wisata alam yang memberlakukan peraturan ketat. Salah satunya, Pantai Tiga Warna (Kab. Malang).
Mereka memberlakukan kuota maksimal pengunjung setiap harinya. Jadi pengunjung harus melakukan reservasi dulu. Area ini memang masuk dalam kawasan rehabilitasi dan konservasi mangrove.
Selain wisata alam bawah air, gunung pun memberlakukan aturan ketat bagi calon pendaki. Tengok saja Gunung Semeru yang menjadi favorit gegara film "5cm". Pengelola Balai Besar Taman Nasional BTS mewajibkan adanya pendaftaran secara online untuk memudahkan mengontrol kuota pendaki (travel.kompas.com).Â
Selain adanya aturan, tentu perawatan sangatlah penting. Menanam kembali tumbuhan yang mati, menutup sementara lokasi wisata untuk mengembalikan ekosistem tentu tak akan membuat pengelolanya rugi banyak bukan?
Aturan ketat tersebut memang harus menjadi suatu kesepakatan bagi warga sekitar, pemerintah daerah, serta pengunjungnya. Tujuan dari wisata alam adalah menikmati alamnya, bukan?
Lalu apa yang bisa dilakukan jika alam itu sendiri sudah rusak. Akan sangat buruk jika pengelola mendapatkan masalah seperti yang dialami oleh penangkaran hiu di Karimun Jawa. Hingga kabar pilu bahwa 110 hiu mati mendadak itu ramai di media, belum ada kelanjutannya saat ini (regional.kompas).Â
Sumber Sira Hanyalah Ekosistem Kecil
Tempat wisata yang saya kunjungi bernama Sumber Sira, terletak di Kab. Malang. Sebenarnya hanyalah kolam dengan air berasal dari sumber. Karena jernihnya air, terlihatlah ikan dan tanaman air di dalamnya. Keindahan inilah yang memicu pengunjung berdatangan.
Sayangnya, peraturan seadanya membuat pengunjung berbuat seenaknya. Kondisi wisata ini dalam kurun 4 tahun saja sudah berbeda. Jika pengelola tidak melakukan tindakan, tidak menutup kemungkinan bahwa kolam ini hanya akan menjadi kolam renang.
Sumber Sira hanyalah secuil potret wisata alam yang sedang menjamur saat ini. Jika tidak ada kesadaran dan tindakan berbagai pihak, wisata alam hanyalah menjadi tempat wisata tanpa alam yang dinikmati.
Jika pengunjung masih menjadikan alam sebagai obyek kepuasan foto semata, mungkin anak cucunya hanya mampu menikmati wisata alam melalui foto kece unggahan mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H