Jumat minggu lalu, saat berita penembakan beruntun di kota kecil Christchurch itu sudah beredar di dunia maya, saya langsung teringat kedua kawan saya. Mereka sedang menempuh studi masternya di Australia. Beruntunglah, mereka tetap melanjutkan aktivitasnya dalam kondisi yang aman, meski rasa was-was selalu terjaga.Â
Menilik Kembali Terorisme di Indonesia
Sejak kejadian bom Bali I tahun 2002, kata "terorisme" seolah mulai biasa didengar kaum awam. Peristiwa tersebut menewaskan 202 orang yang terdiri dari berbagai warga negara, termasuk Indonesia. Inilah awal terorisme yang menargetkan kaum barat sebagai korbannya, setelah di tahun sebelumnya kasus terorisme menargetkan gereja seperti kasus Bom Malam Natal (Desember 2000) dan yang mengguncang stabilitas negara seperti kasus BOM Bursa Efek Jakarta (September 2000). Muncullah pandangan negatif terhadap umat Islam Indonesia oleh masyarakat luar negeri maupun masyarakat Indonesia sendiri. Belum surut, ditambah pula dengan Bom Bali 2 (2005) yang menewaskan sedikitnya 23 orang, yang berkebangsaan Indonesia, Jepang, dan Australia.Â
Lalu apa respon masyarakat? Mayoritas yang beragama Islam akan berusaha menjelaskan dengan berbagai cara, baik dakwah ataupun debat, menyatakan dengan tegas bahwa Islam bukanlah teroris. Mayoritas masyarakat mengutuk dengan lantang bahwa teroris harus diperangi, bahwa teroris hanyalah oknum, bahwa Islam adalah agama yang damai. Namun apa itu cukup? Satu, dua tahun berlalu, apakah gaung itu masih terdengar? Sebagian saja sudah lupa, entah ada berapa kasus bom yang terjadi setelah tahun 2005 itu berlalu.Â
Padahal duka, luka, dan memori korban tak akan pernah hilang. Pada Oktober 2012 lalu, Media Australia mengadakan peringatan 10 tahun Bom Bali. Media nasional The Australian dan The Sidney Morning Herald meliput khusus kejadian tersebut dengan menyajikan informasi tentang dampak bagi korban, baik di bali dan Australia, serta dampak ekonomi politiknya. PM Australia saat itu, Julia Gillard, juga berpidato dalam peringatan yang dihadiri sanak saudara korban dan sebagian korban selamat. Jika Anda berpikir bahwa tindakan seperti ini terkesan remeh, sepele, dan mebesar-besarkan, mugkin ada yang salah dengan rasa empati Anda. Dukungan moril seperti ini juga diperlukan bagi para korban terorisme untuk menyembuhkan rasa traumatis dan menanamkan rasa aman dalam jiwa mereka.Â
Trauma Pasca Teror Itu Nyata AdanyaÂ
Saya, sebelum si Brenton Tarrant ini melancarkan aksi brutal berdasarkan paham white supremacy-nya, tidak terlalu menyadari pentingnya penunjukan rasa empati kepada korban terorisme. Hingga suatu ketika saya berpikir tentang nasib kedua rekan saya yang berada di negeri orang dengan status sebagai muslim. Bagaimanakah rasanya hidup sebagai minoritas? Seberapa ngerikah rasanya menjadi orang yang bisa saja menjadi korban? Seberapa takutkah rasanya tinggal di negara orang yang kita bahkan tidak tahu paham apa yang mereka anut?
Rekan saya melontarkan uneg-unegnya, tentang bagaimana ia lari terbirit-birit hanya untuk membuang sampah ke halaman di hari naas itu terjadi. Tentang bagaimana ia was-was berjalan sambil menggenggam erat tangan balitanya. Tentang bagaimana ia parno ketika terdengar ketukan di pintu rumahnya. Namun semua perlahan sirna ketika tetangga Australianya mengunjungi masjid di area tersebut dan memberikan karangan bunga.Â
Ketika tiba-tiba satu stadion berdiri sejenak dan berdoa untuk korban Christchurch sebelum pertandingan bola berlangsung. Ketika universitasnya mengirimkan email bela sungkawa kepada seluruh mahasiswanya dan mengibarkan bendera setengah tiang pada hari itu. Hal sepele seperti itulah, tanpa konferensi pers yang panjang lebar; tanpa dakwah yang berapi-api; tanpa embel-embel "we are not terrorists", perasaan aman dan tenang berangsur muncul. Empati seperti itulah yang membuat siapapun yang merasa "bisa jadi korban" menjadi percaya diri dan merasa dilindungi.Â