Rencana liburanku yang gagal malah membawaku pergi ke kotamu. Dengan backpack di bahu, aku berjalan di belakangmu. Terik siang sedikit terhalang pepohonan jati, yang kau bilang milik kakekmu, Mbah Mardi. Hawa desa kakek nenekmu memang panas, membuat imajinasiku beringas. Perasaan yang kupupus sebulan lalu, kini malah trubus tinggi melaju. Apakah ini takdir Tuhan, yang dengan baik hati, menyeretku padamu dalam liburan? Tidak! Aku menggeleng, hatiku tak boleh oleng. Ini hanya kebetulan di akhir pekan. Satu dari puluhan kebetulan yang membuat hatiku jadi bulan-bulanan, oleh kamu, sahabat baruku. "Sudah sampai, gaess" kelakarmu, di tengah hiruk pikuk candaan kawan, membuat (lagi-lagi) mataku tertuju padamu,diiringi perasaan kikuk.
Halaman luas dengan kandang sapi di sebelah timur menyambut kami yang lelah berjemur. Itu pasti Mbah Mardi, lelaki tua dengan kaos oblong di sebelah tiang berdiri. Senyumnya ramah, mengingatkanku pada tawamu yang renyah. Usai berkenalan, kami pun mulai berkeliaran. Mengelilingi rumah khas desa, tanpa ubin dan separuh dinding bambu. Aku duduk di bale ditemani segelas teh hangat. Kubiarkan kawan lain terlelap di ruang tamu yang gelap. Dengan tertatih, nenekmu menghampiri. Meski letih, segala ceritanya kutanggapi. Si Mbah ikut menambahi, mengisahkan dongeng tanpa henti.
Kamu pun muncul di balik pintu, membuat hati berdebar talu.
"Istirahatlah jika lelah, si Mbah bisa cerita sampai kiamat" ucapmu disambut tawa nenekmu.
"Kalau sehari-hari, kakek nenekmu, tinggal berdua di sini, ngapain? Di sini kan sepi" tanyaku, sedari tadi bingung, hendak bertanya, terkendali bahasa.
"Iki takon, Mbah nyapo wae nang omah, kan sepi, mek wong loro" tanyamu menyampaikan maksudku. Yang hanya dijawab dengan seulum senyum nenekmu, dan tatapannya kepada kakekmu, yang terkekeh. Samar terdengar suara radio tua menyiarkan tembang jawa lama. Syahdu, sungguh syahdu. Tatapan nenekmu itu, membuat haru. Tenang penuh cinta, hangat sarat makna.
Perlahan, tanpa mencuri perhatian, kualihkan pandangan padamu. Meski jantung tak henti berdegup, kupasang tampang tanpa gugup. Kunikmati beberapa detik, sebelum ada yang menghardik, memandang wajahmu yang entah mengapa selalu nampak ceria di mataku. Tiga detik, tujuh detik... diamlah di sana sebentar, jangan hiraukan tatapanku, sebentar saja, pintaku. Tepat di detik ke sepuluh, ponselmu berdering bagai gemuruh.
Kamu pun beranjak ke dalam ruang tamu yang gelap. Terdengar suara samar membentak membuatmu sedikit tergagap. "Iya, nanti sore..Ini masih di rumah Mbah sama temen-temen" ucapmu membuatku mendadak pilu. Tanpa tanya pun logika mampu menerka. Sedang terjebak dalam situasi apa sang hati berada. Tanpa berucap pun hati mampu memahami. Bahwa rasa yang diam-diam disimpan harus pergi. Di antara semilir angin, kuteguk segelas teh hangat yang kini dingin.
*Secuil kebetulan
Dari sekian kebetulan
Antara kisahku dan kamu*Â