Kali ini saya akan bercerita sedikit tentang sebuah jembatan bekas rel kereta lori yang melintas di atas sungai Brantas. Biasa disebut dengan julukan Jembatan Pelor (atau juga Peler), jembatan ini menghubungkan dua kelurahan di Kecamatan Klojen, kota Malang. Jembatan ini tak lebih dari dua meter lebarnya, sedangkan tingginya kira-kira sepuluh meter dari Sungai Brantas. Selain melintas di atas sungai, jembatan ini juga melintasi kawasan perkampungan, di mulai dari sisi kanan kiri jalur jembatan kemudian perlahan lahan perkampungan landai dan rumah-rumah penduduk pun berada di bawah jembatan ini.Â
Jembatan Pelor ini cukup unik, selain fakta bahwa nama Pelor ini juga entah dari mana asalnya, juga digadang-gadang sebagai lokasi favorit bunuh diri dengan metode lompat dari atas jembatan. Saya kira itu hanya isu untuk menghibur para mahasiswa yang jumlahnya seabrek di kota kecil itu, namun dengan adanya berita bunuh diri di akhir 2018 lalu sepertinya jembatan Pelor masih memegang reputasinya. Jembatan Pelor sendiri dikenal khalayak ramai karena sudah dinobatkan sebagai jalur pintas bagi mereka yang ingin menuju kelurahan Oro oro Dowo dari Samaan dan sebaliknya. Atau bagi mahasiswa yang baru saja datang dari arah Surabaya, memasuki kota Malang dan berniat menuju kawasan Jalan Bandung, MATOS, UM dan sekitarnya. Atau bagi pengendara ojek online yang memilih jalur ini meskipun maps menunjukkan jalur jalan raya yang memutar.
Kira-kira awal tahun 2000-an, saya masih ingat melewati jembatan ini berjalan kaki untuk menuju kawasan Pemakaman Umum Samaan dari Jl Brigjen Slamet Riadi. Dengan kondisi jembatan yang masih memperlihatkan kayu-kayunya dan beberapa bagian diaspal, beberapa orang terlihat berjalan kaki dan menuntun sepeda motornya melintasi jembatan ini. Seiring dengan ramainya pengendara motor yang melintasi jembatan (melintas dengan cara menaiki motornya, bukan dituntun lagi), jembatan ini pun akhirnya diaspal. Saat ini, di semua jam dan di semua hari, jembatan Pelor layaknya jalan raya yang ramai dilintasi pengendara motor, dan tak tanggung-tanggung, dua arah! Â Â Â Â
Uniknya lagi, bahkan muncul challenge yang tak terdokumentasi dan beredar di kalangan mahasiswa dari luar kota, siapa yang berani melintasi jembatan ini berarti dia tidak phobia ketinggian atau sudah jago mengendarai motor. Fenomena ini sudah saya rasakan sejak tahun 2008, namun yang membuat jari ini geli untuk menuliskannya di artikel adalah pengalaman saya di tahun 2018 saat pengendara ojek online membawa saya melintasi jalur ini. Saat itu sekitar jam sepuluh pagi, terlihat dua orang sedang berjalan kaki melintasi jembatan ini dengan cara beriringan ke belakang sebab sisi lain jalur telah dipenuhi sepeda motor. Dua orang tersebut telah memicu terjadinya antrian sepeda motor yang mengekor di belakang mereka, hingga jalan raya! Se-favorit itu ternyata jembatan ini di kalangan pengendara yang diburu waktu, atau mungkin hemat BBM. Dan apa respon para pengendara motor itu? Mengomel, sebagian juga mencemooh, ada pula yang melontarkan makian. Separah itukah salah pejalan kaki? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana warga sekitar hidup di kampung kecil itu dengan puluhan motor yang lalu lalang tiap jam-nya. Saya tidak sanggup juga membayangkan bagaimana siaganya para ibu di kampung itu untuk mencegah anaknya berlari ke teras rumah. Sebab bukan lagi jalanan kampung yang mereka temui, namun jalan pintas yang selalu dilintas.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H