“Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” istilah Vox Populi Vox Dei sendiri tercatat digunakan pertama kali oleh Alcuin dalam suratnya kepada Maharaja Charlemagne di penghujung abad ke-8.
Dalam surat itu Alcuin memperingatkan sang raja untuk waspada kepada orang-orang yang menjadikan kata-kata tersebut sebagai jargon gerakan demokratisasi, yang akan mengancam kekuasaan sang raja.
Sekian lama setelah surat Alcuin, istilah ini justru secara ikonik pernah dipopulerkan oleh Uskup Agung Walter Reynolds ketika muncul pergolakan terhadap Raja Edward II di abad ke-14, sebagai dukungan terhadap gerakan yang berujung lengsernya sang raja.
Konsekuensi dari penganutan ide ini adalah, bahwa pihak mana saja yang bisa memperoleh suara mayoritas, maka ia memperoleh semacam “legitimasi spiritual”, bahwa ia menang atas kehendak Tuhan yang menggerakkan hati nurani mayoritas masyarakat. Implikasinya, muncul kecenderungan pandangan bahwa suara mayoritas merupakan suara Tuhan.
Suara berhubungan erat dengan rasa mendengar. Pada perkembangannya suara rakyat dianggap sebagai suara ketika mampu terdengar, unsur-unsur memenuhi sesuatu itu dianggap suara rakyat antara lain: Berada di gelombang 20 Hz sampai 20 kHz, diperdengarkan lewat media tertentu langsung ataupun tidak langsung, diizinkan untuk bersuara, dianggap layak untuk bersuara, lebih bagus bukan dari mereka yang minoritas pandangannya; falsafahnya; ideologinya; dan cara hidupnya, lebih bagus dari mereka yang sudah dianggap berhasil, lebih bagus dari mereka yang berkapasitas bersuara dalam bidangnya.
Maka izinkanlah penulis yang jauh dari bidang seni ini berusaha bersuara tentang seni sedikit saja tanpa meminta diakui telah menghasilkan suara.
Seni itu apa dan bagaimana serta harus seperti apa dihargainya bagi mereka yang masih diberkahi kesempatan menikmati dan mengerti esensi seni, adalah hal yang dipegang erat ketika sedang menilai seni dan menilai siapapun yang sedang merespon seni. Sisanya adalah mereka yang memuji atau tidak memuji seni berdasarkan berhasil tidaknya seni mengaktifkan hormon-hormon baik yang dihasilkan tubuh sehingga merasa senang ketika bersentuhan dengan seni.
Lalu bagaimana jika saya katakan “Suara Rakyat (bukan) Suara Tuhan”, melainkan “Suara Rakyat adalah Seni”. Menurut Aristoteles, pengertian seni adalah suatu bentuk ungkapan dan penampilan yang tidak pernah menyimpang dari kenyataan, dan seni itu meniru alam.
Senin 24 Agustus 2020, dipublikasikan dari channel youtube Bidin Dundum video durasi 35 menit dengan narasumber Agus Khairun Naim yang dikenal sebagai musisi Berau, Kalimantan Timur dengan Judul Ngobrol Musik : Degradasi Seni, yang judulnya saja sudah menarik para peduli seni memberikan sepatah dua patah katanya di dalam kolom komentar ditambah lagi jika para peduli seni itu mendengarkan dialog di dalam video hingga akhir, maka kalimat dalam komentar akan semakin merepresentasikan emosional positif si pemberi komentar.
Salah satu komentar yang menjadi sorotan adalah mengenai narasi tentang seniman akademis dan non akademis, kontemplasi, dan seniman kroco dari narasumber tersebut Mas Naim dalam video tersebut. Saya tidak akan mencoba memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan Mas Naim, yang saya dapat jelaskan disini bahwa peradaban manusia memang adalah tolak ukur bagaimana seni yang dihasilkan didalam peradaban itu karena sejalan dengan pemikiran aristoteles bahwa seni tidak pernah menyimpang dari kenyataan dan seni itu meniru alam.
Menurut Immanuel Kant, definisi seni adalah sebuah impian karena rumus-rumus tertentu tidak dapat mengikhtiarkan kenyataan. Kant berargumen, penalaran saja atau pengindraan saja tidak akan memberikan kita pengetahuan apapun.