Mohon tunggu...
Elinah Sorbonne
Elinah Sorbonne Mohon Tunggu... -

Menulis adalah bentuk ekspresiku dalam menyiratkan kehidupan ini... Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kami, Tidak Menyalahkan Siapa Pun

28 November 2010   03:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:14 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12909136381412140741

[caption id="attachment_77341" align="alignnone" width="300" caption="*Foto, http://www.google.com"][/caption] Hari itu, selasa 22 Juni 2010. Siang di sebuah kantor LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di daerah Bausasran, Yogyakarta. Seseorang yang sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri, bahkan lebih dari itu memberi saran kepadaku untuk ikut mendaftar  saja ke sebuah Universitas swasta di Yogya. Memang pagi di hari selasa itu, aku dan mba Cici (aku biasa memanggil seseorang itu) beserta temanku mendatangi universitas swasta yang di maksud. Kami menemui pak Toni, beliau adalah salah satu pengurus Credit Union (CU) di mana CU merupakan sistem tabungan atau yang bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk simpan pinjam buat biaya pendidikan. Setelah akhirnya kami berempat duduk dalam satu ruangan, mba Cici dan pak Toni mulai membicarakan mengenai apa itu CU. Kemudian mba Cici mempersilahkan aku atau Sishi (nama temanku) menanyakan apa yang memang ingin ditanyakan kepada pak Toni. “El, kalau ada yang mau ditanyakan sekarang. Karena pak toni tidak memiliki waktu banyak dan harus segera bertemu dengan mahasiswa-mahasiswanya” ketika itu aku langsung memberanikan diri untuk bertanya, “Bapak, waktu itu aku pernah lihat di brosur universitas ini mengenai biaya DPP-nya yang aku sendiri ingin mengambil jurusan sastra inggris ialah sebesar 15 juta. Dalam mekanismenya DPP itu bisa di bayar dalam 3 kali angsuran. Yaitu 20%, dan 40% kemudian 40% serta harus dibayar sampai batas akhir di semester pertama atau dalam kurun waktu 6 bulan. Itu sebenarnya bagaimana pak?” Dengan berusaha berbicara tegas aku menanyakannya. Pak toni pun menjawab dengan sangat ramah dan penuh senyuman namun tetap berwibawa. “Jadi begini, sebenarnya pembayaran DPP itu bisa saja dibayar dalam waktu 4 tahun selama kamu kuliah. Jadi sangat bisa dicicil, hanya kenapa pihak universitas memberi aturan pembayaran harus lunas dalam semester pertama supaya dana itukan bisa digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain dulu. Sebenarnya di universitas ini tidak ingin menggratiskan seluruh biaya pendidikan mahasiswa yang kuliah disini meski dari keluarga yang kurang mampu. Karena itu menyebabkan seolah mahasiswa yang mendapat pendidikan gratis ini tidak memiliki harga diri. Kami pihak Universitas ingin melihat kemampuan mahasiswa membayar ini sebesar apa, jadi supaya benar-benar sang mahasiswa berusaha untuk dirinya sendiri.” Seperti itulah kurang lebihnya jawaban pak Toni. Aku benar-benar senang mendengarnya. Kamipun hanya sedikit membicarakan mengenai hal-hal yang memungkinkan untuk aku atau Sishi bisa kuliah di Universitas swasta itu, karena pak toni harus segera pergi dan memang ada jadwal untuk bertemu dengan mahasiswa-mahasiswanya. Akhirnya pembicaraan di waktu itu selesai dengan sedikit kelegaan hati, yang setelah itu di siang hari di kantor mba Cici aku disarankan untuk ikut tes dalam gelombang 2 pada tanggal 3 juli dan diminta untuk segera mendaftar. Mba Cici bilng padaku. “Kamu daftar saja ya, biar pembelian formulirnya saya yang bantu” aku tersenyum dengan sangat manis dan berkata dalam hati, “Baik sekali kau mba, aku benar-benar menyayangimu” “Kamu sekarang fokus belajar saja, nanti aku cari-cari buku yang aku punya tentang grammar dan kamu juga bisa belajar dengan Sishi. Kamu nanti saja pulang ke kampung-nya ya” dengan sangat bersahaja mba Cici mengatakan itu kepadaku. Dari situ aku mencoba untuk banyak membaca dan memahami tentang grammar, dari buku-buku yang mba Cici pinjamkan ke aku. Setiap kali aku ke kantor mba Cici, aku selalu menyempatkan waktu di teras untuk sendiri agar bisa fokus belajar. Ku mencoba memahami sendiri tanpa bertanya ke siapapun, karena memang semua orang di situ juga sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Sampai pada waktu ketika mba Cici memberitahuku bahwa dia akan ke Jakarta karena akan mengurusi funding baru dan lama LSM Kampung Halaman. Mba Cici akan berangkat hari minggu dan dia bilang hari rabu akan kembali ke Yogyakarta. Hingga pada suatu saat mba Cici menanyakan keperluan apa saja yang harus disertakan untuk bisa mengikuti tesnya. “El, apa saja yang harus disertakan buat daftar?” sambil tetap fokus mengendarai mobilnya pulang menuju kontrakan. “Aku hanya harus membeli formulirnya dan menyertakan foto ukuran 2x3 hitam putih sebanyak 2 lembar, mba.”“Ya sudah, nanti kita cari studio foto dan kamu foto disitu” dengan sikap yang sangat bijaksana mba cici mengatakannya. Sampai di kontrakannya, mba cici ngajakin nonton dvd yang biasa kami suka menyewanya. Dua film kami tonton, sambil menikmati secangkir kopi dan cemilan yang sebelumnya kami telah beli di sebuah supermarket bernamakan “Progo” sambil mba Cici belanja bulanan. Malam itu dilewati dengan sesekali gelak tawa karena memang filmnya lucu dan menghibur. Setelah selesai film yang pertama, mba cici sempat bilang sebentar kepadaku. “El, apa kamu sudah mengantuk?” aku menjawabnya dengan cepat, “Belum mba, kita lanjut nonton film yang kedua saja” Akhirnya film keduapun diputar dan selesai sampai jam satu lewat dinihari, setengah dua akhirnya aku dan mba cici memasuki kamar masing-masing dan seperti biasa sebelum aku masuk kamarku, aku mengatakan, “Selamat malam mba Cici” kemudian mba cici menjawab, “Met tidur”.Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya waktu untuk mengikuti tes masuk di Universitas itu telah tiba. Aku dengan Sishi yang sebelumnya sudah mendaftar bersiap-siap menuju ke Universitasnya di pagi tanggal 3 Juli 2010. Hari yang berat, penuh doa di dalam hati dan penuh harap agar tesnya berjalan lancar serta bisa mengisi setiap soal-soal yang diberikan supaya bisa diterima di Universitas swasta yang bergengsi ini. “El, kita duduk di sini saja ya sambil di makan rotinya. Kita harus banyak makan karena kita butuh energi untuk berfikir nanti” nada Sishi sedikit menekankan sembari mengujar kata-kata itu kepadaku.Pagi itu calon-calon mahasiswa yang aku yakin kebanyakan adalah anak-anak yang pintar berdatangan dengan sejuta harapan dalam hati mereka. Datang dari berbagai daerah, beberapa dari pelosok dusun termasuk gadis yang sedikit bergemetar sedari tadi dan merasakan sesuatu yang sangat baru dan gadis itu ialah aku. Datang dari pelosok desa yang terletak di paling selatan kota Indramayu-Jawa barat. Hanya berbekal ilmu yang aku dapat dari sebuah sekolahan tingkat atas yang baru berdiri dan lulus sebagai alumni pertama. Berbekal pula doa dari orang tua tercinta yang jauh di desa sana dan seperti biasa di pagi hari mereka mengais rizki dari sawah milik orang lain untuk menghidupi lima orang anak yang masih ditanggungnya. Profesi mereka hanya buruh tani. Tidak memiliki sawah sebidangpun. Mengenyam pendidikan hanya sampai kelas tiga SD alias mereka tidak pernah lulus sekolah dasar dan mendapatkan surat tanda tamat belajar yaitu ijazah. Namun anak gadisnya, tengah menghadapi tes masuk kuliah di sebuah Universitas swasta yang bagus di kota yang dijuluki sebagai kota pelajar, Yogyakarta. Pukul tujuh lewat tiga puluh menit, tesnya dimulai. Seorang lelaki setengah baya berikut seorang perempuan yang masih sangat muda memasuki ruang K-23 dimana aku dan Sishi juga calon mahasiswa lain yang mendapatkan tempat mengikuti tes di kelas tersebut duduk bersama dan bersiap bertempur dengan menyiapkan senjata berupa pensil, penghapus, dan penggaris atau ada pula yang dilengkapi dengan papan ujian serta paling penting yaitu otak yang cerdas dan ketenangan hati itu paling utama agar bisa mengatur strategi. “Kenapa pilihan prodinya hanya satu? Cuma sastra inggris.” Tanya lelaki setengah baya itu kepadaku dan entah aku tidak tahu siapa namanya, tanyanya itu telah memecah keheningan dalam kesunyian yang dihadirkan oleh jiwa-jiwa yang penuh konsentrasi dan fokus akan lembaran-lembaran kertas yang digenggam di tangan masing-masing. “Saya, pengen belajar sastra pak. Jadi saya tidak mengisi pilihan kedua dan ketiganya karena saya cuma pengen ambil jurusan sastra inggris.” dengan suara yang pelan aku menjawabnya dan egois kedengarannya karena sepertinya aku orang yang tidak pernah mau mendengar saran orang lain. “Kan, di Pendidikan Bahasa Inggris juga nanti bisa sambil dikembangkan.” “Saya nggak mau, saya pengen tetap yang ini pak. Sastra inggris.” Sambil tersenyum simpul aku mengatakannya.Akhirnya pertempuran itu telah usai. Jam telah menunjukan setengah dua belas. Semua beranjak keluar kelas K-23 dan sebelumnya pengawas perempuan muda itu mengingatkan kepada kami bahwa pengumuman bisa dilihat di situ web (www.usd.ac.id) atau bisa datang ke Universitasnya. Berhambur keluar dari berbagai kelas dan menuruni tangga. Aku dan Sishi belum mau pulang dulu, akhirnya memutuskan duduk di depan kampus satu universitas itu. “Ayo, dimakan lagi rotinya” “Iya Si, tadi aku sedikit merasa lapar di kelas ketika mengikuti tesnya” “Aku kan sudah bilang, buat berfikir itu harus butuh energi yang banyak.” Kesalahan itu memberi pelajaran tersendiri buatku. Sederhana sifatnya tapi maknanya penting.Selang empat hari setelah tes, sekarang tanggal 7 Juli 2010. Itu artinya, hari ini adalah hari pengumuan tes gelombang 2 di Universitas Sanata Dharma. Pagi yang sangat berat untuk dilewati. Terlalu menyakitkan apabila harapan itu tidak terpenuhi, berderai air mata karena aku begitu menginginkannya. Namun, bagaikan anak yang paling beruntung dan bahagia di dunia apabila namaku tertera di halaman web itu. Tidak bedany juga bagi Sishi dan ratusan jiwa lain yang mengikuti tes empat hari lalu. “Dhil ayo ke warnet!” “Ayo!!!” “Kamu mandi duluan, cepetan dan setelahnya aku mandi. Habis itu kita ke warnet.” Itulah pecakapan di pagi hari yang menegangkan dengan salah satu teman di kontrakan bernama Dhila dan aku tidak bisa melihat pengumuman itu berbrengan dengan Sishi karena dia harus berangkat kerja di pagi itu juga.Sesampainya di warnet yang tidak jauh dari kontrakan. Aku akhirnya bisa cukup sedikit tenang karena sebentar lagi aku akan tahu apakah aku bisa kuliah atau tidak di Universitas itu. Setelah sebelumnya aku merasakan kebahagiaan palsu dalam mimpi-mimpi tidurku. Sampai tiga kali aku bermimpi diterima dan ketika terbangun aku merasa mendapat rasa senang yang semu. Perlahan aku mengetik alamat web itu dan mulai men-search, hatiku serasa ngilu dan jantung ini berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku sudah masuh di home web itu dan di situ tertera tulisan besar PENGUMUMAN PENERIMAAN MAHASISWA/MAHASISWI BARU  MELALUI JALUR GELOMBANG 2 Kurang lebih seperti itu tulisan yang terpampang di home web di mana ketika di klik maka akan muncul deretan nama-nama anak yang diterima dan kuliah di Universitas Katholik itu. Hatiku semakin kaku ketika ku klik dan mulai mencari dideretan nama itu. Tidak dapat aku tuliskan di sini. Namun, aku akan menceritakan melalui sebuah puisi pendek berikut. Pagi itu di warnet daerah Jetis, Pagi yang indahKu lalui dengan semangat Terjaga di pagi hari yang masih sangat hitam pekat Karena rasa itu cukup membuatku gelisah Hingga tak bisa ku pejamkan lagi mata ini Gundah gulana dan sibuk dengan angan-angan Apakah aku akan kecewa atau bahagia? Ku belum tahu.... Web itu masih belum aku buka Banyak sudah ku sebar sms di beberapa nomor kontak di hp ku Hanya berkata,"Doain aku ya, biar ketrima" Ku melangkah cepat ke sebuah peraduan dimana aku bisa buka web itu Dengan seorang kawan berkerudung Lalu.. Duduk manis ku menghadap monitor Dengan mencoba tetap tenang ku perlahan membuka alamat web itu Www.usd.ac.id telah aku searchMulai sibuk mencari namaku Hati ini mulai tak tenang karena belum juga ku jumpai namaku Hingga kursor ini sudah berada dalam posisi paling bawah Setiap huruf berawalkan E membuat aku kian bergetar Sampai akhirnya..... Memang tidak ada namaku di pengumuman itu... Sudahlah, aku memang gagal tes. Tapi aku yakin Rencana Tuhan lebih indah 09:08 am Jogja, 070710 Tiba-tiba hp-ku berdering berbunyi nada kalau ada sms yang masuk. Aku buka dan ternyata dari Sishi. Berikut percakapan kami dalam sms itu. “Elinah, gimana? Ketrima?” “Aku nggak ketrima Si. Aku gagal. Tapi aku menemukan namamu. Kamu ketrima Si.” “Aku minta maaf ya El. Meski aku ketrima, tapi aku lebih dominan sedih daripada senang.” “Gak apa-apa Si.” Datar banget kata-kata yang ku ucapkan melalui sms kepada Sishi dan tak terasa mata ini sudah bersimbah air mata yang apabila ku kedipkan sekali saja maka berderailah titik-titik air berasa asin itu.Pagi yang telah mengajarkan aku untuk bisa belajar menerima setiap kenyataan.  Pagi yang telah mengajarkan aku supaya bisa lebih kuat dalam menghadapi hidup sekalipun hal yang paling menyedihkan dan sangat mengharukan. Baiklah, sekarang pagi itu telah pergi menggoreskan luka tapi itulah kenyataan. Siang, masih di hari itu aku berbincang dengan Sishi di kontrakan. Kata-kata yang keluar selalu menguatkan hatiku supaya tidak lebih hancur dan melulu kata maaf juga Sishi lontarkan keadaku. Mengingat, ketika sebelum kami melangkah sejauh ini. Berusaha dan berdoa bersama, mencari alternatif bagaimana caranya agar kami memungkinkan kuliah di Universitas mahal itu dengan mendatangi pak Toni bertanya mencari jalan keluarnya, menanyakan sistem CU ke pengurusnya, dan saling meyakinkan bahwa kita berdua akan memasuki gerbang Sanata Dharma bersama sebagai status mahasisiwi dalam kampus yang menawarkan berjuta-juta ilmu, pengalaman, pendidikan dan pengarahan. Sampai akhirnya Sishi mengajakku untuk menemaninya mengambil Surat Keputusan (SK) di kampus II Sanata Dharma. “El, mau ikut temani aku ke sanata Dharma untuk ambil SK?” “Aku mau Si. Ayo!” masih dengan semangat yang tersisa. “Tapi, aku malah bikin kamu tambah sedih dong kalo kamu ku ajak ke Sanata Dharma untuk ambil SK-ku.” “Nggak apa-apa kok Si. Aku masih tetap senang bisa ke Sanata Dharma dan melihat kampus itu lagi.” Pergilah kami berdua menaiki motor Sishi dengan setengah hati ini masih terus menangis. Namun tangisan itu membuncah dan berderai-derai jatuh berkejaran. Mata Sishi juga berkaca-kaca. Hal itu terjadi ketika Sishi menerima SK dia dan kami melihat nominal-nominal uang yang harus segera dibayar dalam waktu yang begitu singkat dan jumlah uang yang tidak sedikit bagi Sishi apalagi bagiku yang hanya anak buruh tani yang tak memiliki sawah satu kotakpun, andaikata aku dalam posisi Sishi sekarang atau kata lain aku ketrima pada waktu itu akupun pasti merasa sangat bingung. Mahal sekali! Terisak kami merenunginya tepat di depan gedunganya. Dua gadis dara yang malang. Sampai ku goreskan luka-luka itu sebagai bentuk menumpahkan rasa yang tak tertahankan. Mengapa….. Mengapa siang itu begitu menyedihkan? Mengapa harus mengeluarkan air mata dan merasakan pedih? Mengapa elinah? Mengapa sisi? Mengapa kami sangat menderita? Mengapa sangat susah sekali? Mengapa?... Mengapa harus sangat mahal? Mengapa seolah tidak ada kebijakan? Mengapa akhirnya kami berfikir? Apakah hanya orang kaya yang akan terus sekolah? Apakah orang miskin tidak boleh sekolah? Mengapa harus demikian?Mengapa serasa ini nggak adil? Mengapa sudah harus seperti ini? Bapak Presiden apakah kami harus menyalahkan anda? Wahai orang kaya, apakah kami harus membenci kalian? Tidak.. Bukan itu Kami hanya bertanyaMengapa harus susah untuk bisa terus sekolah? 01:30 pm Jogja, 070710 Sampai di situ keharuan kami. Menyalahkan, kami tidak menyalahkan. Menyerah, kami tidak akan pernah menyerah. Membenci, membenci siapa? Bersedih, cukup untuk hari itu. Di depan masih banyak hal yang harus diperjuangkan. Halangan dan rintangan terbentang seluas mata memandang tapi kami yakin, kasih sayang  Tuhan itu lebih luas. Selesai diedit, 03:13 pm Jogja, 251010 Sorbonne...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun